Secercah Harapan itu Bernama "KESEJAHTERAAN"

Nuansa pergantian tahun tak ubahnya suatu momen yang sakral bagi hampir semua penduduk negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi ini. Perayaan yang begitu meriah hampir ada di setiap pojok ibu kota kabupaten, propinsi, dan tidak ketinggalan ibu kota negara tentunya. Entah berapa puluh milyar dana yang keluar dari semalam perayaan tahun baru ini. Tidak bermaksud untuk menjustifikasi atau menyalahkan perayaan momen ini, tapi ada satu hal yang selalu menjadi pertanyaan terutama bagi mahasiswa dan semua rakyat Indonesia kapan Indonesia bisa bangkit dari keterperukan dan bermetamorfosis menjadi negara yang sejahtera (welfare state).

Segala resolusi mungkin telah dicanangkan dari para elit politik, selebritis, atlit, dosen, mahasiswa, seniman dan bahkan masyarakat kecil sekalipun. Akankah keinginan para pendiri bangsa untuk menciptakan suatu negara yang sejahtera tercapai di tahun ini? Pertanyaan besar yang selalu bingung bagaimana untuk menjawabnya. Namun nampaknya awal tahun 2010 tak ubahnya tahun – tahun sebelumnya. Beberapa fenomena diawal tahun ditandai dengan berbagai peristiwa mulai dari seorang ibu yang rela meninggalkan 4 orang anaknya karena terlilit utang hingga perdebatan ala preman yang dilakukan oleh dua orang politisi yang jauh dari nuansa kedewasaan dalam berpolitik. Ada apa dengan negeri ini? Seakan – akan Indonesia begitu lekat dengan identitas ketertinggalan, kekerasan, kemiskinan, KKN, dan kebodohan. Identitas yang cukup bikin telinga panas tapi inilah realitas bahwa mayoritas penduduk negeri ini masih begitu lekat dengan identitas tersebut.

Dari kondisi perpolitikan di awal tahun 2010 ini kita disuguhi perdebatan ala kusir dalam sidang pansus yang membahas kasus bank century yang cukup mencerminkan wajah – wajah politisi negeri ini. Kedewasaan nampaknya masih menjadi hal yang langka di gedung yang katanya menjadi tempat para wakil rakyat itu. Semua mengatasnamakan kepentingan rakyat tapi entah kepentingan rakyat yang mana, secara obyektif kita pasti bisa menilai dilematisnya kepentingan rakyat saat dihadapkan dengan kepentingan partai. Benar kata Bang Iwan kalau keinginan itu adalah sumber penderitaan.

Bagaimana dengan prediksi penegakan hukum selama satu tahun ke depan? Ya sekali lagi kita dihadapkan pada suatu realitas tentang penegakan hukum di Indonesia. Tontonan di awal tahun tentang salah satu anggota keluarga yang hanya karena mencuri pisang divonis 5 tahun penjara dengan mengatasnamakan penegakan hukum. Sedangkan tersangka kasus korupsi puluhan milyar sampai sekarang masih banyak yang belum diadili. Bukti penemuan satgas pemberantasan mafia hukum yang melakukan sidak di lapas pondok bambu cukup menunjukkan ketidakadilan hukum di negeri ini. Dengan kasus suapnya yang dinilai cukup merugikan negara seorang narapidana yang biasa disapa ayin (sengaja penulis tidak menggunakan huruf besar diawal nama karena menurut penulis orang – orang seperti ini tidak layak untuk dihormati) bisa menikmati penjara dengan fasilitas bintang 5 di tempat hukuman yang seharusnya membuatnya jera. Suatu kenyataan yang sulit untuk diterima tapi begitu nyata keberadaanya.

Pernyataan yang sering kita dengar bahwa Negara Indonesia akan berubah jika hukum di Indonesia ditegakkan sebenarnya merupakan salah satu kunci mencapai cita – cita bangsa ini. Artinya semua elemen bangsa ini menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan kapasitas yang dimiliki. Pemerintah cukup konsentrasi menjalankan amanah konstitusi untuk memberikan kesejahteraan bagi masyarakat sedangkan masyarakat sendiri berusaha untuk mandiri tidak terlalu bergantung dengan bantuan pemerintah. Karena dalam keyakinan penulis hubungan yang sinergis itu berdampak positif sesuai dengan hakekat keberadaan masing – masing.

Tapi bukan berarti satu tahun ke depan kita tidak akan mendapatkan atau mungkin semakin mendekat dengan impian yang diinginkan setiap insan manusia Indonesia yaitu kesejahteraan. Satu hal yang membuat penulis yakin adalah bahwa masih ada semangat untuk terus menuju impian bangsa itu. Semangat itu yang membuat Indonesia terus memperbaiki diri dan bertahan sampai detik ini. Semangat untuk menuju Indonesia sejahtera. Kesejahteraan bukanlah suatu utopia karena kesejahteraan itu mutlak pilihan kita.

Kesejahteraan adalah target utama yang selalu ingin dicapai oleh setiap negara. Dalam pengertian umum kesejahteraan identik dengan pemenuhan akan sandang, papan, dan pangan. Masyarakat secara umum menggunakan ketiga indikator tersebut sebagai tolak ukur apakah kehidupannya sejahtera atau tidak. Lebih jauh lagi pemerintah menggunakan IPM (Indeks Pembangunan Manusia) sebagai salah satu indikator kesejahteraan suatu negara. Sedangkan bagi penulis kesejehteraan adalah hak mutlak yang dimiliki oleh setiap insan manusia. Kesejahteraan adalah pilihan. Kesejahteraan adalah kedamaian hati dan jiwa. Kita yang memilih apakah kita mau sejahtera atau tidak. Kekayaan dan kemiskinan, kesehatan dan penyakit, serta kepintaran dan kebodohan tidak selamanya menjadi faktor utama dalam mencapai titik kesejehteraan. Bagi penulis faktor utama yang menentukan apakah kita sejahtera atau tidak adalah kesinergisan antara jiwa dan hati yang bermuara pada ketentraman . Dalam salah satu ajaran agama di jelaskan bahwa baik buruk seseorang itu ditentukan oleh satu bagian tubuh manusia yang jika bagian tubuh tersebut itu buruk maka buruklah perilakunya. Dan jika bagian tubuh tersebut baik maka baiklah perilakunya. Dan bagian tubuh tersebut adalah hati.

Jadi semakin jelas jika nuansa hati mayoritas penduduk ini masih dalam kategori buruk jangan harap akan banyak perubahan di negeri tercinta ini. Memulai dari diri sendiri untuk senantiasa memperbaiki diri adalah salah wujud kongkrit dalam membenahi keterpurukan bangsa ini. Kita memang rindu akan sosok pemimpin yang bisa kita jadikan teladan tapi bukan berarti kita tidak dapat memberikan tauladan pada diri kita sendiri. Secercah harapan akan kesejahteraan itu akan selamanya ada dan tahun 2010 ini adalah momen kita untuk menggapainya. Sebagai negara yang beragama kita tentunya meyakini bahwa Tuhan tidak akan menguji mahkluk-Nya di luar batas kemampuan yang dimilikinya. Tetap optimis dengan cara meluruskan niat dan menyempurnakan ikhtiar memberikan yang terbaik untuk bangsa ini sesuai dengan kelebihan yang dimiliki masing – masing adalah hal yang harus terus kita lakukan. Secercah harapan akan kesejahteraan itu akan tetap selamanya ada dan kita yakin Indonesia mampu meraihnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar dari “Ketidakbisingan” Yogyakarta

UN Berbasis Minat dan Bakat, Kenapa Tidak?

Imajinasi Percakapan Ayah dan Anak