UN Berbasis Minat dan Bakat, Kenapa Tidak?

Polemik tentang Ujian Nasional (UN) sepertinya masih menjadi persoalan yang belum bisa terselesaikan. Diskusi tentang masihkah perlu UN menjadi standar evaluasi pendidikan dan penentuan kelulusan siswa nampak tetap menggeliat hingga saat ini. Padahal Mahkamah Agung (MA) pada 14 September 2009 telah mengeluarkan keputusan yang inkrah terkait dengan penghapusan UN ini. MA menyatakan pemerintah dianggap telah menjadi penyebab gangguan psikologis dan mental sebagai dampak adanya UN selama ini.
                                        
Gambar diambil dari http://edukasi.rakyatku.com/read/
28417/2016/11/18/wacana-
penghapusan-ujian-nasional-kembali-mengemuka
Lantas apakah persoalannya ada pada UN atau justru sistem pendidikan secara keseluruhan yang belum mampu memenuhi amanat Undang-Undang Dasar 1945? Beberapa waktu yang lalu kita disuguhkan video viral tentang presentasi seorang pengacara di depan hakim, kritikan pedas tentang sistem pendidikan dalam video tersebut adalah jangan paksa “ikan untuk belajar memanjat pohon.” Pernyataan pengacara tersebut sangat relevan dengan kondisi riil pendidikan di Indonesia. Penentuan lulus tidaknya anak bangsa ditentukan oleh UN yang sangat mungkin tidak berhubungan dengan bakat dan minat anak bangsa. Tentu sangat tidak adil jika atas nama kualitas pendidikan, anak bangsa diposisikan layaknya ikan belajar memanjat pohon.
                                       
Pendidikan seharusnya mampu mengoptimalkan potensi setiap anak bangsa, bukan justru sebaliknya. Memberikan label tidak lulus UN untuk anak didik yang sangat piawai memainkan gitar karena tidak mampu memenuhi standar mata pelajaran Matematika bukanlah hal yang bijak untuk dilakukan. Atau mungkin melabeli anak didik yang sangat tangkas pada saat bermain bola tidak lulus UN karena nilai Bahasa Inggrisnya tidak memenuhi standar juga bukan hal yang elok untuk dilakukan. Sudah saatnya pendidikan di Negara ini mampu mengoptimalkan potensi anak bangsa dan memberikan kesempatan kepada anak bangsa untuk menentukan masa depannya.

Menetapkan standar nilai adalah suatu keniscayaan jika bangsa ini ingin terus bersaing dengan Negara lain. Persoalan mendasarnya, standar nilai yang dibuat pada UN belum mampu menjawab kebutuhan dan potensi setiap anak bangsa. UN seharusnya menjadi ajang pembuktian bakat yang dimiliki oleh setiap anak bangsa. Sedangkan pendidikan menjadi alat untuk mengoptimalkan kompetensi yang dimilikinya. Perpaduan ini akan menciptakan pendidikan yang lebih humanis dan tidak diskriminatif. Lantas bagaimana cara mengimplementasikannya?

Pertama adalah menetapkan standar kelulusan bagi setiap bakat yang dimiliki oleh anak bangsa. Artinya, Pemerintah harus mampu memetakan potensi anak bangsa berdasarkan mata pelajaran yang diujikan. Misalnya, bagi seorang anak yang memiliki bakat dan minat pada dunia sastra, standar kelulusannya harus mampu membuat karya berupa Novel, Kumpulan Puisi atau yang lainnya.

Kedua, berikan kesempatan anak bangsa untuk memilih standar kelulusan UN sesuai dengan bakat yang dimilikinya. Misalnya, anak didik yang memiliki minat pada mata pelajaran IPA dengan fokus rekayasa benih, biarkan dia memilih standar kelulusan UN IPA dengan standar kelulusan berkaitan dengan rekayasa benih yang dibuat oleh Pemerintah. Sehingga siswa bisa fokus pada minat dan bakat yang dimilikinya tanpa harus berpikir untuk menguasai IPS, Bahasa Inggris atau Matematika. 

Kedua cara ini sangat mungkin dilakukan jika para pemangku kebijakan di sektor pendidikan benar-benar ingin memperbaiki kualitas pendidikan bangsa ini. Biarkan anak bangsa berkarya sesuai dengan minat dan bakatnya. Tugas Pemerintah adalah membuat standar kelulusan UN yang sesuai dengan bakat dan minat anak bangsa serta bagaimana mengoptimalkan potensinya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar dari “Ketidakbisingan” Yogyakarta

Imajinasi Percakapan Ayah dan Anak