Atas nama identitas (Islam A vs Islam B)

29 Juli 2010

Hari ini aku bertemu dengan salah satu orang yang mendapat amanah berat (menurutku sih) di universitas padjadjaran,hhe. Ketua salah satu ukm keagamaan di tingkat universitas. Sebut saja namnya “bunga.” Hhe

Pada awalnya sebenarnya pertemuan kami tidak disengaja. Karena memang tadinya aku hanya niat sholat maghrib terus lagi menunggu seseorang. Tapi karena setelah sholat tiba – tiba naluriku sebagai mahluk sosial tergerak, akhirnya aku memulai basa – basi,hhe. Pada awalnya pembicaraan kami cukup sederhana, ya tidak jauh dari bertanya tentang aktivitas satu sama lain. Hingga pada akhirnya pembicaraan mulai mengarah pada nilai – nilai dakwah di kampus.

Aku mengakui bahwa masih jauh identitas yang aku lakukan selama ini jika diterjemahkan sebagai seorang muslim sejati. Tapi aku sangat memperhatikan fenomena – fenomena dakwah yang ada di kampus. Karena memang aku yakin sepenuhnya bahwa Islam itu rahmatan lilalamin.

Awalnya aku yang menyentil tentang kenapa tidak ada sinergisitas perjuangan atau dakwah di tingkat fakultas dengan universitas. Jawabannya cukup membuat aku tersenyum karena memang awalnya kami terkesan saling jaim,hhe. Tapi tidak lama kemudian pembicaraan kami mulai mengarah pada sebuah nilai akan pentingnya (meski pribadi aku gak tau ntah seberapa penting) identitas. Sebenarnya aku cukup muak dengan fenomena ini tapi aku jadi ingat apa yang telah aku pelajari bahwa di dunia ini tidak kawan atau lawan yang abadi yang ada hanya kepentingan abadi. Aku memang pernah mengalaminya waktu mencalonkan diri menjadi ketua bem, sahabatku sendiri yang harus aku hadapi. Panjang kalau cerita masalah ini, nanti aku ceritakan di episode selanjutnya,hhe.

Konflik ini sebenarnya berawal pada tahun 2000, tepatnya saat ada temu aktivis. Pihak yang merasa disisihkan merasa perlu membuat wadah dakwah yang pada perkembangannya nampak begitu jelas persaingan dengan mengatasnamakan DAKWAH di kampusku tercinta ini. Meski rektorat hanya mengakui satu organisasi yang resmi, tapi tetap aja kedua – duanya saling berkompetisi.

Sedih, miris, dan ironis bagi aku. Disatukan atas nama “ISLAM” tapi harus bersaing karena perbedaan identitas. Mungkin aku salah satu orang yang berpikiran kenapa tidak bersatu saja untuk membangun Islam daripada sibuk mengurusi masalah internal yang entah kapan ketemu ujungnya. Tapi memang ini realitas kehidupan. Aku bertemu fenomena ini karena Allah telah menggariskan dan aku yakin sepenuhnya semua bisa dikomunikasikan. Sayang banget melihat potensi dakwah yang begitu luar biasa jadi terhalang karena kepentingan sebuah eksistensi identitas diri. Ingat sahabatku, identitas kita hanya ISLAM, bukan a, b, c, atau d. Selama niat kita berdakwah hanya untuk Allah, kenapa kita tidak bersatu. Bukankah berjuang secara berjamaah itu yang disarankan Rosul? Jadi tidak ada alasan lagi untuk kita mengedepankan kepentingan identitas golongan di atas kepentingan dakwah Islam. Semoga bisa jadi bahan perenungan bagi kita untuk terus berjuang di jalan Allah. Tidak ada yang sempurna di dunia ini karena kesempurnaan hanya milik Allah.

Komentar

  1. "di dunia ini tidak kawan atau lawan yang abadi yang ada hanya kepentingan abadi..."

    he..he...
    dadi iling mas cu ae....

    BalasHapus
  2. agama sebaiknya tidak dipolitisir begini,tapi memang marx adalah keniscayaan.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar dari “Ketidakbisingan” Yogyakarta

UN Berbasis Minat dan Bakat, Kenapa Tidak?

Imajinasi Percakapan Ayah dan Anak