Pelacur Pendidikan - Bagian 1


Aku harus menelepon Ibu, tidak ada jalan lain. Terlalu sulit bagiku untuk mengambil keputusan ini sendiri. "Assalamu'alaykum Mak? Mamak pripun kabare? Ini nomernya Teguh, ngapunten ganti nomor terus soalnya susah sinyal di sini." Aku membuka pembicaraan dengan Ibu. Tentu dengan perasaan dag-dig-dug yang susah aku jelaskan.

"Wa'alaykumussalam... Oalah Le... Suwi ora nate telpon, Mamak kangen karo kowe. Alhamdulillah Mamak baik kabarnya, awakmu piye kabare Le? Kapan bali neng omah?" Jawab Ibuku dengan penuh antusias. Sungguh perasaanku saat itu makin tidak karuan. Gejolak antara senang, bingung dan tentu takut bercampur jadi satu.

Percakapan ini adalah puncak dari kebingunganku menghadapi kabar baik dan sekaligus kabar buruk dalam hidupku. Aku tak tahu harus bercerita kepada siapa selain kepada Ibu. Aku sudah siap dengan segala konsekuensinya. Apapun yang disarankan Ibu, aku pasti akan menjalaninya.

"Semoga lebaran ini Teguh bisa pulang ya Bu. Mohon doanya agar rezekinya cukup." Aku coba menenangkan Ibu meski aku tak tahu apakah aku bisa pulang atau tidak lebaran yang akan datang. Hidup di kepulauan dengan status Guru, tentu bukan perkara yang mudah. Aku sudah paham akan hal ini dan karenanya aku tidak banyak mengeluh. Tapi... Sms dari Pejabat sekelas eselon III dari Dinas Pendidikan beberapa hari yang lalu seperti menggoyang idealis niat pertamaku mengabdi sebagai Guru di kepulauan.

"Mak, beberapa hari yang lalu aku disms Pak Tono, Kepala Bidang Dinas Pendidikan sing nduwe kewenangan memindah pegawai. Aku tidak kenal sebenarnya dengan beliau, tapi aku juga tidak tahu kok tiba-tiba beliau sms ke nomorku. Intinya, wonge menawariku mau pindah dari kepulauan atau tidak." Aku mulai berbicara to the point dengan Ibu.

Di sela pembicaraan aku kembali menegaskan," tapi wonge minta uang Mak. Totale lumayan Mak bagi guru kayak aku. Aku kudu bayar 15 juta kalau mau pindah lokasi yang di daratan. Menurut jenengan aku kudu piye Mak?" ungkapku ke Mamak.

Mamak tidak langsung menjawab, hampir setengah menit Mamak diam. Mungkin beliau sedang bergejolak sama halnya denganku.

"Le, dulu almarhum Bapakmu bilang ke aku. Kalau punya anak laki-laki pengen diberi nama Teguh. Itu doa dari Bapakmu, pengen punya anak yang teguh pendiriannya, terutama saat dihadapkan dengan pilihan halal-haram, Allah ridho-murka, atau bermanfaat-tidak. Sakjane, Mamak yo pengen kowe pindah neng daratan tapi tidak dengan jalan yang haram. Mamak manut awakmu Le, sing penting awakmu seneng. Sekarang kowe wes dewasa, wes iso menentukan pilihan. Mamak hanya bisa bantu doa dari sini." Jawaban Mamak singkat, jelas dan membuatku yakin harus bagaimana.

"Inggih Mak, aku nyuwun doanya nggih Mak. Aku akan jawab sms Bapaknya besok setelah sholat shubuh di masjid. Pandonganipun nggih Mak." Aku menutup pembicaraan dengan Mamak.

Beberapa hari yang lalu, seniorku yang juga Guru di daerah kepulauan memutuskan memilih membayar karena ingin dekat dengan orang tua dan keluarga kecilnya. Meski pada akhirnya harus" ikhlas" membayar ke oknum orang Dinas Pendidikan. Dan aku pun dalam hati kecil ingin demikian. Tapi pesan Mamak di telpon tadi, memantapkan hatiku, bahwa aku harus melakukan sesuatu. Untuk bangsa ini!

---------

"Saya siap membayar Pak, asalkan saya dijamin pindah ke daratan. Mohon arahan kira-kira saya bisa bertemu Bapak kapan untuk menyerahkan uangnya?" Smsku ke Pak Tono. Aku sudah memutuskan untuk melakukan sesuatu. Mungkin ini kecil, tapi aku harus memulainya. Suap-menyuap itu layakanya hukum jual beli yang setiap ada permintaan di situ ada penawaran. Aku sudah siap dengan segala konsekuensinya.

Selang beberapa lama, Pak Tono menjawab sms saya. "Nanti malam ketemu di Warung Kopi dekat alun-alun ya mas. Jam 21.00." jawabnya singkat.

Setelah sholat shubuh aku sudah packing dan menyiapkan segala sesuatunya. Aku juga sudah pamit ke anak-anak kalau ada satu dan lain hal yang membuat aku tak bisa lagi menemani belajar mereka. Butuh perjalanan 12 jam untuk menuju ke daratan. Aku harus naik kapal pertama dari sini, sekitar pukul 05.30 WIB. Dan terpenting adalah aku sudah menyiapkan recorder mp3 yang dulu sejak kuliah setia menemaniku. Aku sudah packing rapi semua baju dan perlengkapanku. Aku harus berangkat pagi ini. Bismillah.

Sekitar pukul 19.00 WIB aku tiba di dermaga, perjalanan lebih lambat dari yang aku prediksi. Tapi tak mengapa, aku sudah terbiasa seperti ini sejak saat aktif di Pramuka dulu. Aku naik ojek langsung ke lokasi. Perjalanan dari dermaga ke lokasi sekitar 30 menit sehingga waktunya masih cukup luang. Aku bisa beristirahat dan sekaligus sholat jama' Isya dan Maghrib.

Sehabis sholat, aku berdoa semoga ini menjadi amal ibadahku yang bisa menjadi investasiku saat nanti Allah memintaku bertanggungjawab atas profesiku. Aku lilitkan kabel recorder di dada dengan isolasi, memastikan baterai penuh, bismillah tombol "rec" aku nyalakan.

"Assalamu'alaykum.. Mas Teguh. Saya Tono Kepala Bidang Guru dan Ketenagaan Dinas Pendidikan." sapanya langsung kepadaku.

Dalam hatiku, masih bisa-bisanya orang ini menggunakan simbol Islam dengan mengucapkan salam padahal perilakunya lebih menjijikkan daripada hewan. "Wa'alaykumussalam salam." Jawabku singkat. Jujur aku sangat tegang saat itu, tapi telpon Mamak semalam memantapkanku untuk melakukan hal ini.

Tanpa basa-basi dengan ekspresi yang sangat dingin, Pak Tono langsung straight to point kepadaku. "Sampean akan saya pindah ke daratan bulan depan. Tapi syaratnya sampean harus tanda tangan surat pernyataan ini. Isi surat ini adalah bahwa mutasi ASN tidak didasari transaksi dalam bentuk apapun."

Aku baru sadar, ternyata ini modus operandi yang digunakan oknum pejabat di negara ini. Suap-menyuap seperti sesuatu yang umum tapi susah dideteksi. Mereka memanipulasi transaksi dengan laporan administrasi murahan seperti ini.

"Baik Pak, saya akan mendatanganinya. Tapi saya pasti akan pindah ke daratan kan Pak" aku mencoba memancing Pak Tono agar semakin jelas rekamanku. Dan aku pastikan setiap kata yang diucapkannya bisa aku jadikan barang bukti.

"Hhhaaaaa.. Ojo meragukan Tono Hartikno mas. Jenengku iki salah satu jaminan kemenangan Pak Bupati. Makanya kalau aku yang minta, pasti dipenuhi oleh Pak Bupati." jawabnya tegas.

Yup. Akhirnya Pak Tono masuk perangkapku. Bismillah, aku relakan uang tabunganku selama dua tahun ini. Aku serahkan ke "maling" uang rakyat ini. Ini aku anggap sebagai sedekahku untuk memperbaiki bangsa ini. "Ini uang Rp 15 juta yang Bapak minta. Terima kasih banyak atas bantuannya Pak." Pungkas pertemuanku dengannya.

-----------

Barang bukti sudah ada di tanganku. Cepat atau lambat, aku akan memastikan mafia jabatan di sektor pendidikan akan mulai terbuka. Dan aku tidak boleh salah menyampaikan bukti ini. Aku harus mencari sosok yang tepat untuk mengawal kasus ini ke ranah hukum. Kemungkinan terburuk aku dipecat alias pensiun dini sebagai ASN pun sudah aku pertimbangkan. Aku sudah siap.

Bersambung.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar dari “Ketidakbisingan” Yogyakarta

UN Berbasis Minat dan Bakat, Kenapa Tidak?

Imajinasi Percakapan Ayah dan Anak