Menikahlah karena Allah


Sejujurnya saya juga belum tahu-menahu tentang makna kata ini, “menikah.” Tapi perjalanan hidup membuat saya mau tidak mau harus memaknai dan memahami kata ini lebih dalam lagi,hhe. Bukan dalam rangka berpujangga atau kata-kata sepadan lainnya, tulisan ini hanya ungkapan dan jawaban atas keraguan dari berbagai pertanyaan yang seringkali memengaruhi sistem kerja otak saya.

Setiap orang pasti pernah memiliki rasa yang biasa dikenal dengan cinta. Termasuk cinta dengan lawan jenis, kalau yang tidak pernah justru saya malah yang khawatir :p. Bisa jadi itu indikasi perilaku menyimpang.hhe. Jutaan karya tercipta di dunia ini hanya oleh satu kata “cinta.” Entahhh, saya juga tidak paham kenapa, tapi kata ini seperti memiliki karisma yang begitu tinggi. Yang jika seseorang telah merasa miliki rasa ini, daya ikatnya begitu kuat.

Berawal dari pertanyaan yang seringkali membuat saya bingung sendiri, apakah landasan sepasang mahluk hidup yang bernama laki-laki dan perempuan menikah? Karena tampilan fisikkah, karena kecantikan dari dalamnya kah, karena agamanya kah, karena hartanya kah, atau karena hanya cinta. Pilihan-pilihan jawaban ini memang tidak lantas bisa digeneralisir satu dengan yang lain. Kasus a bisa jadi karena alasan kekayaan, kasus b bisa jadi karena alasan agama, kasus c bisa jadi karena fisik, dan seterusnya.

Agama tentu menjadi pertimbangan pertama bagi kita terutama umat muslim untuk memutuskan siapa kelak pendamping hidup kita. Lantas sejauh mana pertimbangan-pertimbangan lain berpengaruh terhadap cara pandang kita dalam mengambil keputusan. Ah sepertinya rumit sekali, padahal bagi beberapa orang satu alasan saja cukup untuk menyatukan mereka, yaitu cinta,hhe.

Diskusi saya dengan seorang teman saat sma, sebut saja bunga,he. Namanya Asma, orangnya akhwat banget, dan saya sangat mengagumi pribadinya. Saya menemukan jawaban yang mungkin terlihat sederhana, tapi entah kenapa saya merasakan keraguan atas pertanyaan-pertanyaan tentang pasangan hidup itu terjawab saat saya berdiskusi dengannya. Cerita saat dia memutuskan menikah dengan seorang ikhwan dan bagaimana mereka memaknai dan menerjemahkan kata cinta dalam hubungan mereka. Subhanallah.

Menikahlah karena Allah, kalimat ini menjadi jawaban atas keraguan dan berbagai pertimbangan yang seringkali mengaburkan niat saya untuk menyegerakan ikatan ini. Saya sering bilang dalam diri saya juga orang yang ada disekitar saya, bekerja karena Allah, bersahabat karena Allah, berkeluarga karena Allah, tapi entah kenapa kata menikah karena Allah luput dalam pikiran logis saya. Dan pertimbangan nafsu dunia lebih sering mendominasi faktor ini. Untuk sampai pada kesimpulan ini memang belum tentu saya bisa sepenuhnya melakukannya. Tapi jawaban ini menenangkan hati dan pikiran saya, bahwa menikah karena Allah adalah alasan paling logis yang saya yakini kebenarannya. Fisik, latar belakang keilmuwan, harta, dan pertimbangan dunia lain memang tidak kalah penting. Tapi pertimbangan Allah, jauh lebih penting dari pertimbangan apapun. Layaknya kematian, jodoh tidak bisa dipercepat atau diperlambat. Dia bisa diikhtiarkan sesuai dengan jalan yang ditentukan. Pada akhirnya Allah yang jauh lebih tau mana yang terbaik untuk kita. Mengikhtiarkan sesuai dengan tuntunan, insya Allah akan dapat hasil yang baik dunia dan akhirat. Mengikhtiarkan tidak sesuai dengan jalan Allah, besar kemungkinan nafsu dunia yang lebih mendominasi yang pada akhirnya seringkali berujung pada kebahagiaan semu.

Memilih pasangan hidup memang tidak mudah, tapi kita harus yakin bahwa Allah jauh lebih tau mana yang terbaik untuk kita. Kita wajib mengikhtiarkan (tentu sesuai dengan tuntunan) tapi tentang hasil, Allah yang jauh lebih tau mana yang terbaik. Karena baik menurut kita belum tentu baik menurut Allah. Mari kita optimalkan ikhtiar dan doa untuk menjemput pasangan hidup kita, semoga Allah berkenan memberikan pasangan hidup yang baik untuk dunia dan akhirat kita. Amin.

Salam pencarian :D

14 : 39 Wib.
18 Maret 2013





Komentar

  1. lanjut mas.. update terus ya.. :)

    BalasHapus
  2. licinn pa kabarmu saudaraku?hhe. yupp, mari kita berkrya ssuai dengan pa yg kta bsa cin :D

    BalasHapus
  3. alhamdulillah mas... njenengan sendiri gmn? :)

    BalasHapus
  4. alhamdulillah ugi sae cin,, wah ttep semangat berkarya yo cin :D

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar dari “Ketidakbisingan” Yogyakarta

UN Berbasis Minat dan Bakat, Kenapa Tidak?

Imajinasi Percakapan Ayah dan Anak