Rendahnya PENYERAPAN bukan PENGHEMATAN

Kangmas dan Diajeng, mohon ijin share sedikit pengetahuan yg ditunjang dengan pengalaman saya terkait pemahaman penyerapan anggaran di suatu daerah. Menjadi buruh NGo sejak tahun 2012 membuat saya sedikit memahami fenomena ini.

Dahulu, saya seringkali reaksioner melihat kenyataan bahwa salah satu indikator berhasil tidaknya suatu daerah (lebih tepatnya K/L/D/I) adalah terkait kemampuan mereka dalam menyerap anggaran. Logika awam saya waktu itu, kalau memang sisa ya jangan dihabisin kan negara bisa hemat. Aneh sepertinya kalau indikator keberhasilan didasarkan pada kemampuan membelanjakan uang negara. Maka jangan heran dulu, sebelum para oknum ASN yang merangkap profesi sebagai koruptor bebas melaksanakan aksinya, diakhir tahun proyek menumpuk. Gak tahu gimana caranya yang terpenting uang negara habis. Itulah salah satu alasan kenapa saya begitu reaksioner dengan pendekatan ini, karena memaksa orang secara tidak langsung untuk berperilaku korup.

Semakin ke sini saya semakin paham, kesalahan utamanya sebenarnya bukan pada PENYERAPANNYA tapi pada PERENCANAANNYA. Logika sederhananya seperti ini, munculnya plafon anggaran di daerah itu melalui proses yang sebenarnya sangat panjang. Diawali dari musrenbang dari berbagai tingkat yang dimotori oleh Bappeda, sampai kemudian menjadi KUA PPAS dan pada akhir disahkan sebagai APBD. Prosesnya panjang banget pokoknya. Konsepnya bottom up dalam penyusunan perencanaan ini. Ideal sekali.

Gambar diambil dari : https://cdn.sindonews.net/dyn/620/
content/2017/01/06/33/1168707/postur-apbn-2017-
susunan-menkeu-sri-mulyani-dipuji-bei-8D6-thumb.jpg
Namun praktiknya, pejabat yang seharusnya berperan dalam penyusunan perencanaan ini seringkali melimpahkan ke staf yang kadang kemampuan menajerialnya sangat lemah. Bahkan tidak jarang mengerjakannya secara asal. Sama sekali tidak mengindahkan analisis dampak dan manfaat. Bayangkan perencanaan kegiatan untuk satu tahun, kadang dikerjakan hanya dalam waktu 2 jam, itupun karena sudah "diuprak-uprak" Bappeda. Jadi bisa dibayangkan bagaimana hasil perencanaan tersebut. Solusi  e-planning juga tidak serta merta memperbaiki hal ini.

Uang negara yang jumlahnya ribuan triliun rupiah itu
sebenarnya motor utama pergerakan ekonomi di negara ini. Jadi secara langsung maupun tidak langsung kalau ada daerah yang penyerapannya tidak optimal, berarti perputaran ekonomi daerah tersebut juga akan tidak optimal. Pekerja formal dan nonformal dari implikasi hasil penyerapan uang negara tersebut juga akan sangat berpengaruh. Idealnya perencanaannya bagus (berdasar pada analisis berbagai hal) dan implementasinya (berarti penyerapannya) juga bagus.

Lebih baik tidak diserap daripada dikorupsi? Dalam hal ini bukan pilihan yang bijak menurut saya. Potensi korupsi sangat bisa diminimalisir kalau memang secara prosedur tidak ada yang salah. Banyak daerah di negara ini yang mampu menyerap optimal dengan potensi korupsi yang minimal. Intinya rendahnya PENYERAPAN anggaran itu bukan PENGHEMATAN tapi ketidakmampuan menyusun PERENCANAAN yang baik. Jadi sebagai rakyat kita harus mulai terlibat aktif dalam hal ini, entah dalam proses perencanaannya atau implementasinya. Jadi kalau ada pejabat yang bilang ke masyarakat bahwa rendahnya penyerapan itu adalah penghematan menurut saya sama sekali tidak benar.

Karena saya juga bukan ASN mohon maaf jika ada yang salah, dan dengan senang hati kalau ada yang berkenan mengoreksi. Selamat berlibur.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar dari “Ketidakbisingan” Yogyakarta

UN Berbasis Minat dan Bakat, Kenapa Tidak?

Imajinasi Percakapan Ayah dan Anak