IWANKU SAYANG, IWANKU MALANG

23 Oktober 2010

Waktu yang memberikan jawaban atas semua tanda tanya yang ada pada manusia. Kalimat itu telah aku buktikan. Ada peristiwa yang luar biasa menurutku dengan apa yang aku temukan tadi pagi. Seperti biasa, layaknya anak kost pada umumnya. Pagi hari setelah mandi pasti pada sibuk nyari makanan untuk memenuhi kebutuhan energi biar aktivitas tetap berjalan sesuai dengan apa yang semestinya dilakukan.

Warung yang paling murah di Jatinangor adalah tujuanku. Karena memang aku lagi tidak ada uang,hhe. Lebih tepatnya karena atmku lagi di bawa sama adekku. Awalnya aku tidak menyangka akan bertemu dengan adek didiku saat awal aku masuk kuliah di UNPAD. Tepatnya 4 tahun yang lalu. Mimpi itu sebenarnya adalah bagian dari mimpi besarku. Iya, aku ingin senantiasa bisa bermanfaat bagi umat. Berawal dari kesedihan hati melihat anak – anak kecil yang jualan di kampus, aku merasa tergerak untuk memberikan pengertian pada adek – adek itu akan pentingnya pendidikan dalam diri mereka.

Alhmdulillah ternyata apa yang aku pikirkan mendapat respon positif dari teman – teman seangkatanku. Yang pada perkembangannya jadilah kami membuat kelompok belajar bagi adek – adek yang sering jualan di kampusku. Saat itu ada sosok yang menurutku penampilannya kalem, anaknya ganteng, dan nampak senyumannya penuh impian – impian besar yang meski dia tidak tahu bagaimana mewujudkannya. Namanya Iwan, waktu itu kalau tidak salah dia kelas 4 SD. Banyak teman – temanku yang sayang pada adek didiku ini karena memang dari sisi penampilan cukup menarik bagi siapapun yang melihatnya. Saya sering ngomong pribadi dengannya, sharing tentang pentingnya pendidikan atau bahkan sharing tentang hobi satu sama lain. Dia adalah sosok anak yang memiliki ketulusan dalam menjalani hidupnya. Dan pada saat itu aku merasa sangat ingin mendampinginya sampai dia bisa berdiri sejajar dengan orang – orang yang ada di sekitarnya.

Masalah ekonomi memang menjadi kendala utama bagi para anak – anak yang tinggal di sekitar kawasan Jatinangor. Bukannya termotivasi untuk meraih pendidikan setinggi – tingginya tapi malah sibuk mencari bentuk jati diri yang terkadang sulit untuk dipahami.

Itulah yang terjadi pada Iwan. Adek didikku yang dulu begitu imut, ganteng, kalem, sopan, tulus, sekarang berubah menjadi remaja punk yang diwarnai rambutnya, makek giwang ditelinganya, dan terlihat sekali ciri – ciri yang menarik dulu berubah menjadi kesan angker bagi siapapun yang melihatnya. Waktu memang telah merubah segalanya. Waktu juga yang menunjukkan akan seperti apa kita nantinya. Dalam hati jelas aku sedih saat tadi menemuinya. Awalnya aku ketemu adeknya yang ak sangka adalah Iwan, ternyata dia adalah Rizky yang juga pernah belajar bareng denganku. Alhamdulillah mereka masih ingat dengan aku. Perasaan saat itu jelas campur aduk, antara heran, sedih, aneh, sama benci melihat apa yang aku temui saat itu. Kenapa karena masalah ekonomi sosok yang dulunya penuh dengan pesona sekarang berubah menjadi sosok yang sangat angker, jauh dari wajah anak – anak yang memiliki mimpi. Entah berapa banyak jumlah anak – anak yang bernasib sama dengan Iwan. Atas nama jati diri mereka rela menggadaikan segala hal yang menjadi potensi positif yang mereka miliki. Ahrrggggghhhhh pemerintah pasti sedang sibuk mikirin diri mereka sendiri. Terlalu naif jika berharap pada orang – orang itu. Menyerah dengan keadaan tentu bukan pilihan yang bijak. Kita dipertemukan dengan masalah karena Allah bermaksud kita belajar dari masalah tersebut. Aku masih sangat percaya bahwa jika pada saatnya nanti akan tercipta harmoni dalam kehidupan ini. Kemiskinan sampai kapanpun akan tetap ada tapi aku yakin suatu saat nanti kemiskinan tidak akan menjadi masalah karena setiap insan yang ada di negeri ini dengan tulus hati mereka bisa saling berbagi. Karena itulah indahnya kehidupan. Keindahan saat manusia yang satu dengan yang lainnya dengan tulus hati mampu untuk berbagi. Insya Allah semua akan terwujud pada saatnya...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar dari “Ketidakbisingan” Yogyakarta

UN Berbasis Minat dan Bakat, Kenapa Tidak?

Imajinasi Percakapan Ayah dan Anak