Tentang Pendidikan
Beberapa hari yang lalu saya
membaca tulisan media nasional tentang plagiarisme dalam dunia pendidikan.
Bukan merupakan sesuatu hal yang baru memang, tapi saya tertarik membaca
tulisan itu karena yang bersangkutan adalah dosen tempat saya menuntut
ilmu.hhe. Malu pasti, tapi inilah realitas dunia pendidikan di Indonesia.
Penjahat atau mafia berkedok guru besar, profesor atau gelar prestise lain
masih cukup mudah kita temukan di institusi yang katanya tempat orang-orang
idealis ini.
Saya juga yakin, bukan hanya di
kampus saya fenomena ini terjadi. Kampus-kampus lain pun tidak jauh berbeda
kondisinya. Menemukan plagiator dalam dunia pendidikan adalah suatu hal yang
mudah. Dalam beberapa kasus malah bersifat traksaksional,hhe.
Memahaminya memang harus
komprehensif, kenapa seorang yang sering kali kita anggap sebagai tauladan
dalam bidang keilmuwan melakukan hal busuk seperti itu. Kenyataan bahwa dunia
pendidikan di Indonesia masih sangat minim penghargaannya terhadap karya,
sedikit banyak berpengaruh terhadap munculnya fenomena ini. Bahkan
penemuan-penemuan yang inovatif pun tak banyak penghargaan yang bisa diberikan.
Paling sebatas nilai, beasiswa, atau penghargaan-penghargaan yang sifat
sementara tanpa ada niat untuk mengembangkan lebih lanjut hasil karya tersebut
agar bisa dinikmati oleh masyarakat Indonesia.
Lihatlah fenomena Mobil SMK yang
dulu digadang-gadang media hampir setiap hari sekarang kenyataannya kalah
dengan fenomena Ahmad Fathonah bersama perempuan-perempuan seksi dan sapinya. Atau
Eyang Subur dengan para istri dan penantangnya. Ahhh, tak lagi seksi
karya-karya anak bangsa di hadapan media dibandingkan berita itu semua.
Ini contoh sederhana apresiasi
terhadap karya dalam dunia pendidikan. Sebagai contoh lagi banyak teori-teori
sosial yang secara tidak langsung dikembangkan oleh orang Indonesia tapi sama
sekali tak ada gaungnya di media. Saya ingat penelitian Koentjaraningrat
tentang mentalitas manusia Indonesia setelah PD II, masih sangat relevan sampai
dengan hari ini. Tentang mentalitas suka menerabas, tidak berdisiplin murni,
dan beberapa ciri lain benar-benar masih aktual sampai saat ini. Jika ada
apresiasi lebih harusnya penelitian tersebut menjadi tamparan bagi kita yang
mengaku WNI sehingga berusaha sebaik mungkin untuk memperbaiki kualitas diri. Tapi
kenyataannya penilitian yang berlangsung sekitar tahun 70-an tersebut masih
tetap sama dengan mentalitas manusia Indonesia saat ini. Memang tidak semua,
tapi kemudahan kita menemukan salah satu dari ciri yang diungkapkan beliau
menunjukkan bahwa manusia Indonesia dulu dengan sekarang masih sama cirinya.
Lantas apa yang salah dalam dunia
pendidikan kita? Hampir tiap tahun kurikulum berganti masih juga seperti ini.
Saya tidak hendak menjustifikasi hanya saja pemahaman masyarakat bahwa keberhasilan
pendidikan selalu identik dengan angka-angka bisa jadi penyebabnya. Pintar
dengan nilai angka menawan menjadi indikator keberhasilan seseorang. Bermoral
tapi nilai jauh dari standar sangat tidak diperhitungkan. Begitulah sistem
kemasyarakatan kita menilai seseorang. Sehingga tidak jarang pelaku pendidikan
menghalalkan segala cara untuk mendapatkan nilai yang memuaskan. Kejam memang,
tapi jika dipikir lebih dalam lebih mending mana orang bodoh bermoral daripada
orang pintar tidak bermoral? Ingat koruptor di negeri ini adalah orang-orang
pintar yang tidak bermoral sehingga dengan mudahnya mereka mengkhianati amanah
Tuhan. Jadi mari kita mulai merubah pemahaman tentang pendidikan. Bahwa
pendidikan adalah salah satu cara membangun karakter anak bangsa. Nilai adalah
salah satu variabel diantara variabel-variabel lain yang lebih penting. Ada
kejujuran, pengabdian, kepekaan, yang kesemuanya itu tidak bisa diukur dengan
angka-angka. Sekolah adalah tempat mendidik bukan tempat menilai seseorang.
Sekedar bertutur di malam minggu.hhe
23.21 Wita
Warkop Haji Anto
Komentar
Posting Komentar