Nama Beliau Sarmiyati
Sarmiyati. Begitulah nama beliau,
hanya satu kata yang sebenarnya saya sendiri juga tidak tahu apa makna nama
beliau. Saya hanya hanya tahu, nama itu diberikan oleh almarhum kakek dan nenek
saya. Tidak ada yang tahu pastinya, kapan beliau lahir. Dipan dimana kakek dan
nenek menuliskan tanggal kelahiran beliau sudah habis dimakan rayap. Hanya saja
beliau bilang “Kalau tidak salah Ibu lahir tanggal 18 Maret 1956.”
Beliau adalah ibunda saya,
cerminan perempuan Jawa tulen yang lahir di era ‘50an. Lahir di saat maraknya
organisasi berlambang clurit berkeliaran mencari massa di daerah, tak
terkecuali kampung halaman beliau. Lulusan Sekolah Rakyat, itulah satu-satunya
pendidikan yang pernah beliau rasakan.
Seperti pada umumnya perempuan
Jawa, Ibunda saya nampak sedikit ortodoks dengan wawasan beliau yang memang
terbatas. Terlihat agak galak, saat anak-anaknya nakal dan susah diatur,hhe. Namun
beliau sangat penyayang, meski terhitung amat jarang mengucapkan kata sayang. Beliau
adalah tempat pulang terbaik saya juga kakak-kakak saya. Tempat bersandar dalam
semua keadaan.
Mimpi besar beliau bersama dengan
alhamrhum Bapak adalah mampu menyekolahkan anak-anaknya sampai jenjang S1.
Beliau bersama dengan almarhum Bapak selalu bilang, “Bapak dan Ibu tidak akan
mewarisi harta ke kalian, tapi Bapak-Ibu akan berusaha sekuat tenaga untuk
menyekolahkan kalian”. Kalimat yang baru bisa saya maknai disaat umur saya
memasuki angka 20. Pemahaman yang begitu telat bagi saya L
Tanggal 18 Maret kemarin beliau
ulang tahun. Ulang tahun kedua beliau sepeninggal suami tercinta. Seperti
biasa, beliau tidak sadar bahwa tanggal 18 Maret adalah tanggal lahir
beliau,hhe. Sungguh beliau adalah cerminan perempuan Ibu rumah tangga yang
sangat sederhana. Yang sudah tidak peduli dengan dirinya sendiri, yang segala
hidupnya dicurahkan sepenuhnya untuk kebahagiaan putra-putranya. Ya ALLAH
alhamdulillah, sungguh hamba beruntung sekali dilahirkan dari rahim beliau.
Terlahir sebgai anak-anak
laki-laki, seringkali membuat saya malu untuk mengungkapkan rasa sayang saya
terhadap Ibu. Malu dikatakan manja, malu dikatan anak mami, dan
pemahaman-pemahaman menyesatkan lain tentang makna sayang kepada kedua orang
tua kita. Tapi sungguh, seberapapun besar kasih sayang kita, seberapapun besar
uang yang kita punya, seberapapun besar pengorbanan yang pernah kita lakukan,
kesemuanya itu tak mampu mengganti kasih sayang Ibu kepada kita.
Saya mengingatkan diri saya
pribadi, dan mungkin anda yang berkenan membaca tulisan ini, sungguh jangan
pernah malu mengungkapkan rasa sayang kita terhadap kedua orang tua kita.
Sungguh beliau tidak meminta apa-apa dari kita, cara membalas kebaikan mereka
hanya satu. Kita menjadi hamba Allah yang soleh, karena doa anak yang soleh
akan membantu hisab kedua orang tua kelak saat hari perhitungan itu tiba. Ya
Allah ringankan hisab kedua orang tua kami, sungguh beliau telah menjalankan
tugasnya sebagai kedua orang tua yang sangat baik. Kalaupun kami saat ini masih
seperti ini, sungguh itu karena kebodohan kami. Bukan karena orang tua kami
yang salah mendidik kami. Ringankan hisab mereka ya Rabb, dan kumpulkanlah kami
kelak di surga Mu ya Rabb, duhai Allah yang Maha Pengampun. Saya cinta Bapak
dan Ibu karena Allah.
Bandung, 19 Maret 2013
allahummaghfirly wali walidayya warhamhuma kamaa robbayani soghiiroo.
BalasHapusamin ya Allah. sling mengingtkan dan mendoakan geh mas,, mugi arkdwe iso dadi anak si meringankan Bapak dan Ibu di hari perhitungan kelak, amin.
BalasHapus