Tentang Identitas


“Rief suaramu kok medok sekali ya, Rief kamu kok katrok sekali ya, Rief kamu kok ndeso sekali ya.” Kata-kata tersebut sering terdengar di telinga saya,hhe. Tepatnya saat saya mulai memasuki dunia per-SMA-an. Perubahan dari SMP di desa dengan SMA di kota membuat nada suara saya asing bagi teman-teman baru saya :D. Dan kenyataan itu masih harus saya terima sampai saat sekarang. Entah kenapa, karakter suara saya tidak bisa dilepaskan dari keseharian tempat saya dilahrikan.

Sebenarnya saya tidak sedang bermaksud menulis tentang ciri-ciri saya, hanya saja petikan sapaan-sapaan itu sepertinya menggambarkan tentang apa yang sedang ada dalam benak pikiran saya. Tentang identitas saya, anda, dan kita sebagai warga negara Indonesia. Sebenarnya saya sedang muak melihat fenomena yang ada di negara ini. Fenomena penonton alay, fenomena boy band atau girl band, fenomena pemerkosaan, fenomena kegadget-gadgetan, atau fenomena sinetron yang tak masuk akal. Entah sudah berapa banyak tulisan seseorang yang membahas tentang identitas kebangsaan atau kita sebagai individu warga negara. Tapi sepertinya, semakin hari, semakin susah saya menerjemahkan identitas kita sebagai bangsa atau warga negara.

Belajar dari kasus yang pernah saya alami, saya ingin menyampaikan bahwa identitas itu melekat pada diri kita. Dia natural, tidak dibuat-buat, dan seringkali tanpa sadar mencerminkan siapa diri kita. Tidak hanya dalam ucapan, dalam hal bersikap, mengambil keputusan, atau hal-hal lain identitas itu menggambarkan siapa diri kita. Diri kita yang sebenarnya !

Kemedokan, kekatrokan, atau kendesoan saya, adalah salah satu identitas yang lekat pada diri saya. Dia ada dan terbentuk murni karena kebiasaan dan lingkungan yang ada di desa saya. Saat saya berada jauh dari tempat kelahiran, dialek bahasa, tingkah laku, dan mungkin karakter orang seperti saya merupakan hal yang asing dalam lingkungan baru saya. Dan disinilah identitas dengan sendirinya nampak. Tetap mengidentitaskan diri sebagai kita yang sebelumnya atau berubah menjadi seseorang yang baru dengan identitas yang baru adalah dua pilihan yang bisa kita lakukan. Hanya saja batasan tentang identitas ini harus tetap jelas mencerminkan siapa diri kita.

Media televisi memang telah merubah banyak hal. Tidak terkecuali perspektif kita sebagai manusia yang beridentitas Indonesia. Hanya saja, tontonan televisi secara perlahan membawa konsekuensi penggerusan nilai identitas kita sebagai Bangsa Indonesia maupun kita sebagai individu warga negara yang terkenal dengan keanekaragaman budayanya.

Lihatlah! Kenyataan di lingkungan kita. Tentang bagaimana beberapa (semoga tidak mayoritas) generasi penerus bangsa jauh lebih suka meniru apa yang diprovokasi di TV daripada menampilkan identitas kita sebagai bangsa yang terkenal dengan segala keramahtamahan dan kesederhanaannya. Lihatlah! Betapa banyak orang lebih bangga menceritakan gadgetnya daripada menceritakan tempat dimana dia dilahirkan. Tentang bahasa yang mereka gunakan, tentang kehidupan sosial warga lokal, atau tentang potensi alam yang ada di sekitarnya. Mereka lebih sibuk bercerita tentang boy band, girl band, liburan, kecantikan, kegantengan. Ahhhh,, sungguh kenyataan ini membuat saya paradoks. Kenyataan yang menyadarkan saya bahwa identitas kebangsaan semakin jauh dari apa yang kita harapkan.

Saya memaknai identitas dalam dua hal. Kita sebagai kebangsaan dan kita sebagai individu warga negara. Konsepnya sederhana, sebagai kebangsaan identitas yang harus kita tampilkan adalah karakter kita sebagai Warga Indonesia yang hidup di asia tenggara yang terkenal dengan keramahtamahan, kesahajaan, dan keserdahanaannya. Yang terkenal dengan norma-norma yang berlaku dalam kesehariannya. Jika anda masih ragu dengan identitas ini, tanyalah pada orang asing. Tanyalah ke mereka seperti apa orang Indonesia, dan jawaban-jawaban mereka adalah cerminan identitas kita sebagai Bangsa Indonesia yang telah dibangun oleh nenek-moyang kita dari berabad-abad sebelumnya. Sedangkan identitas kita sebagai warga negara, saya memaknainya dalam konsep bhineka tunggal ika. Ayolah kita bangga dengan ciri khas masing-masing kita sebagai individu yang memiliki budaya beragam. Jangan pernah malu menunjukkan siapa diri kita dan darimana kita berasal. Tak perlu berubah menjadi sosok yang kekota-kotaan saat kita berada di kota. Tak perlu sok kekorea-korean saat boy band populer di dunia. Ayolah, siapa yang akan menghidupi identitas kita jika bukan kita sendiri.

Haruskah kita dijajah kembali oleh orang asing? Jika dulu kita dijajah secara fisik, saat ini kita dijajah dengan nilai-nilai budaya yang jauh mencerminkan identitas kita sebagai bangsa atau warga negara. Dengan penuh rasa bangga, saya bilang, saya bangga menjadi bagian Bangsa Indonesia, saya bangga dengan kendesoan saya, saya bangga dengan kenorakan saya, saya bangga dengan kemedokan saya :D

Setiap jaman memang punya ciri khas tapi tak harus meninggalkan identitas.

Bandung, 22 Maret 2013  


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar dari “Ketidakbisingan” Yogyakarta

UN Berbasis Minat dan Bakat, Kenapa Tidak?

Imajinasi Percakapan Ayah dan Anak