5 Tahun




5 tahun, ternyata kita telah mencapai angka itu. Kalau dalam istilah perencanaan pembangunan di daerah, kita telah melewati apa itu RPJMD.hhe. Periode di mana suatu kebijakan harus dievaluasi sejauh mana capaiannya, kalau bagus lanjut periode selanjutnya, dan jika tidak, ada baiknya mengganti Nakhoda baru. Heleh ngomong opo to iki? Sepurane kebawa nuansa :D

Semoga tulisan ini suatu saat bisa bermanfaat untuk keturunan kita.

Tak pernah ada yang mudah dalam menjalani suatu komitmen, apakah itu tentang ideologi, pekerjaan, keyakinan atau bahkan urusan percintaan. Halangan dan tantangan seperti tak pernah ada selesainya, tapi justru itulah yang membuat perjalanan ini semakin menarik untuk dilewati. Alhamdulillah, kita telah bisa melalui 5 tahun ini dengan penuh kebahagiaan dengan tanpa melupakan “riak-riak” perdebatan, pertengkaran, ujian keuangan, ujian kesabaran dan berbagai ujian lainnya.

-----

Kakak Zee dan Dek Sasa, jika tolak ukur yang digunakan oleh seorang perempuan dalam menjalani perannya sebagai seorang istri yang baik, adalah kesetiaan di saat suaminya penuh dengan keterbatasan, Bundamu telah lulus dengan sangat baik melewati masa 5 tahun ini. Bundamu, hampir tak pernah mengeluh untuk urusan dunia selama perjalanan 5 tahun ini. Justru malah Ayah yang lebih sering mengecewakan Bundamu. Maafkan Ayah.

Nduk, suatu saat Ayah pernah terlibat perdebatan yang cukup sengit dengan Bundamu, lebih sengit dari ILC,hhe. Temanya tentang kita mau menetap di mana, di Yogyakarta, Bandung, Banyuwangi atau kota lain. Waktu itu Ayah punya target pribadi yang intinya ingin sebelum usia 30 tahun, keluarga kita telah memiliki keputusan akan menetap di mana. Dengan cara apapun selama itu benar menurut pandangan dunia.

Maklum kerjaan Ayah sampai dengan saat ini mengharuskan Ayah berpindah-pindah. Salah satu opsi yang Ayah tawarkan pada Bundamu adalah “menerjunkan diri” dengan transaksi yang sangat dekat dengan potensi riba untuk memiliki tempat tinggal. Ayah berpendapat panjang-lebar bahwa ini ujungnya adalah untuk kebaikan rumah tangga kita. Bundamu hanya bilang kalau memang Ayah tidak ragu dan yakin bahwa itu benar menurut Allah, nggih monggo kita jalani. Bundamu lebih memilih untuk mengalah dalam diskusi itu, dan fokus pada pemantapan doa. Akhirnya bagaimana? Ayah sadar, bahwa keinginan itu cenderung pada nafsu yang tidak baik. Nafsu yang sangat potensial menyesatkan keluarga kita. Nafsu yang juga berpotensi menimbulkan ria’ karena ingin dinilai mapan, ingin dinilai sudah bisa mandiri, dan keinginan dunia lain yang ternyata berujung pada penilaian manusia, astaghfirulloh.

Nduk, di tahun kelima ini, Ayah dan Bunda masih tidak jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Terutama untuk urusan dunia, tapi ada satu hal yang membuat Ayah dan Bunda semakin optimis menatap masa depan. Apa itu? Sebuah kesadaran bahwa Ayah dan Bunda itu mahluk yang sangat lemah. Sungguh sangat lemah di hadapan Sang Khalik. Dan kondisi ini membuat Ayah dan Bunda jauh merasa lebih tentram dan nyaman dalam menjalani setiap episode hidup. Demi Allah, Nduk. Dipuji seseorang semakin menyadarkan Ayah dan Bunda, betapa baiknya Allah telah meberikan karunia kepada kita, hingga orang menilai baik. Atau sebaliknya, dicaci-maki membuat Ayah dan Bunda semakin kuat karena dengan cara itu Allah bermaksud menaikkan level sabar dan ikhlas kita. Tak mudah menjalaninya, tapi sungguh saat kita benar-benar menyandarkan diri pada kuasa Allah, segala sesuatunya terasa jauh lebih ringan.

Bagi beberapa pasangan, angka 5 tahun mungkin sudah berhasil mencicil ini dan itu. Memiliki suatu kebanggaan bahwa telah berhasil mencapai level tersebut. Pun demikian dengan Ayah dan Bunda, tapi Bundamu selalu mengingatkan Ayah bahwa ridho Allah itu jauh lebih prioritas dari pada keinginan kita. Bundamu memang bukan orang yang sempurna, tapi Bundamu yang selalu menjadi pengingat saat Ayah mulai salah arah. Belum memiliki rumah, mobil, tanah atau aset-aset lainnya sama sekali tidak dipermasalahkan oleh Bundamu. Ah Bundamu memang keren Nduk, diajak rock n roll pun Bundamu mau. 

Saat ini, Ayah dan Bunda sedang belajar untuk benar-benar tidak peduli dengan penilaian manusia. Ayah dan Bunda sedang belajar fokus pada penilaian Allah. Pasrah total pada hal-hal yang Allah ridhoi. Distorsi pasti akan tetap ada, tapi Ayah dan Bunda akan berusaha meminimalisirkannya. Ayah dan Bunda tidak peduli dinilai miskin, tidak peduli dinilai bodoh, tidak peduli dibanding-bandingkan dengan capaian dunia kerabat, saudara atau siapapun. Satu-satunya yang Ayah dan Bunda pedulikan adalah capaian dunia Ayah dan Bunda dilewati melalui proses yang diridhoi Allah atau tidak. Cita-cita Ayah dan Bunda juga sama seperti pada umumnya orang-orang, tapi Ayah dan Bunda tidak mau ambil pusing dengan capaiannya. Biarlah Allah yang mengarahkan segala sesuatunya. Itu yang akan menjadi catatan pijakan Ayah dan Bunda di tahun-tahun berikutnya.

Kakak Zheya dan Dik Ghaitsa, Ayah sengaja nulis ini di media sosial bukan tanpa maksud. Alasan pertama tentu, sebagai pengingat Ayah dan Bunda agar semakin harmonis dalam bingkai Allah ke depannya. Kedua, Ayah dan Bunda juga ingin menyampaikan pesan bahwa romantis-romantisan di dunia medsos itu juga bagian dakwah. Jangan sampai sebaliknya, saat belum diikat oleh pernikahan begitu “sangat” romantis pas ketika nikah malah jaim seperti tidak kenal pasangannya di medsos. Ketiga, Ayah dan Bundaberharap kelak kalian jika sudah menikah jangan fokus pada urusan dunia saja. Sekaya apapun kita, sesukses atau seterkenal apapun kita, fokuslah pada ridho Allah. Pun demikian juga sebaliknya, fokus kita hanya ridho Allah. Iman itu naik turun, maka cara terbaik untuk memelihara iman kita adalah mencari lingkungan dan pasangan hidup yang bisa mengingatkan kita saat iman kita turun. Doakan Ayah dan Bunda bisa jadi lebih baik lagi menurut pandangan Allah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar dari “Ketidakbisingan” Yogyakarta

UN Berbasis Minat dan Bakat, Kenapa Tidak?

Imajinasi Percakapan Ayah dan Anak