Komunikasi Politik ala Tukang Mebel

Masih segar diingatan kita bagaimana peristiwa tanggal 4 November 2016, bagaimana Presiden Jokowi jadi bulan-bulanan hampir mayoritas seluruh rakyat facebook dan twitter di Indonesia. Keputusan Jokowi untuk tidak menemui jutaan massa yang aksi pada saat itu bagi mayoritas rakyat Indonesia justru malah memperkeruh suasana. Termasuk saya dan istri saya yang sampai harus diskusi panjang lebar kali tinggi untuk saling memberikan analisis masing-masing,hhee. Seorang Jokowi yang tenar karena kedekatannya dengan rakyat memilih untuk menengok proyek bandara daripada menemui Ulama dan para Kyai yang datang dari seantero daerah di Indonesia. Saya pun menyayangkan keputusan beliau untuk tidak menemui rakyatnya. 

Foto aerial ribuan umat Islam melakukan zikir
dan doa bersama saat Aksi Bela Islam III
di kawasan Bundaran Bank Indonesia, J
akarta, Jumat, 2 Desember 2016.
Foto : ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
Hanya saja saya paham satu hal bahwa dibalik semua keputusan yang kita ambil, membuat semua orang merasa senang dengan keputusan yang kita ambil adalah salah satu tindakan paling tidak masuk akal di dunia ini. Selalu saja ada orang yang suka dan tidak suka, selalu ada orang yang memuji dan mencaci, selalu ada orang yang mengapresiasi atau memaki. Dan saat itu Jokowi memilih keputusan untuk dicaci dan dimaki bagi mayoritas rakyatnya. Setidaknya begitu yang nampak di dunia media sosial. Bagi yang membenci Jokowi dari awal semakin terbutakan bahwa Jokowi memang presiden terburuk di Indonesia. Tak ada baiknya sama sekali bagi para pembenci Jokowi. Posisi saya? Saya sangat menyayangkan keputusan beliau tapi saya bisa memahami karena tidak mungkin seorang Jokowi mengambil keputusan ini tanpa ada pertimbangan yang lebih dalam. Sederhananya saya berkeyakinan saat itu, akan ada mudharat yang lebih besar jika Jokowi memilih untuk menemui massa pada saat itu. Subyektif ya, hal ini juga yang membuat perdebatan saya dan istri lumayan panjang.hheee.

Setelahnya, Jokowi berusaha menjalin komunikasi ke berbagai aktor politik. Mulai dari rivalnya saat pilpres, pemimpin organisasi Islam, sampai kepada TNI dan Polri. Entahlah apa maknanya, yang jelas seperti nampak ada yang genting melihat gaya komunikasi Jokowi saat itu. Karena Ahok kah? Saya kira persoalan dugaan penistaan Ahok hanya sebagai pemicu. Persoalan terbesarnya saya lebih setuju apa yang disampaikan oleh Panglima TNI, Pak Gatot dalam acara ILC yang intinya beliau menyampaikan bahwa ada ancaman dari luar yang tidak suka melihat Indonesia damai, melihat Indonesia maju, melihat Indonesia tentram. Melihat pertumbuhan ekonomi Indonesia yang baik, plus kebijakan pembangunan infrastruktur yang dilakukan Jokowi untuk berkonsentrasi di Indonesia timur, bagi beberapa pihak luar merupakan ancaman nyata. Karena jika Indonesia maju, stabil, damai dan tentram akan jadi ancaman besar bagi negara-negara maju. Secara Indonesia adalah umat muslim terbesar di dunia, SDA melimpah, SDM juga tidak kalah, sehingga sangat wajar jika kemajuan Indonesia adalah ancaman nyata bagi para negara lain. 

Sampai dengan muncul rencana aksi 212, umat Islam alhamdulillah atas ijin Allah seperti digerakkan untuk terus menjadi bagian penting dalam perjalanan negara ini. Mulai saat jaman mendapatkan kemerdekaan hingga saat mengisi kemerdekaan. Dugaan penistaan agama oleh Ahok seperti menyatukan umat Islam yang selama ini terpecah belah. Dan keputusan Jokowi menjalin komunikasi ke MUI, Polri dan organisasi Islam bagi saya adalah cara yang tepat. Bagaimanapun juga silaturakhim itu menyimpan begitu banyak manfaat. Ya ya sekali lagi bagi yang tidak suka dengan Jokowi akan bilang sudah terlambat, percuma dan berbagai kata-kata bermakna negatif lainnya. Dan saya sangat memaklumi hal tersebut. 

Keputusan Jokowi mengangkat Tito Karnavian menjadi Kapolri dan Gatot Nurmantyo menjadi Panglima TNI menurut saya adalah langkah yang sangat tepat. The right man on the right place, dua tokoh besar ini bisa tetap menunjukkan kepemimpinannya tanpa menunjukkan adanya potensi overlapping atau bahkan pada level yang lebih besar mengkudeta Jokowi. Manuver kedua tokoh ini sangat brilian dan saya pikir Jokowi bisa fokus ke urusan lain saat persoalan ini diserahkan sepenuhnya ke dua tokoh ini. 

Puncaknya adalah musyawarah yang difasilitasi oleh MUI, yang melibatkan Ulama dan Kyai, GNPF MUI dan tentu pihak Polri terkait rencana aksi super damai  212. Disinilah menurut saya terciptanya translasi jejaring aktor, atas ijin Allah semua kepentingan dari berbagai pihak terakomodasi dengan sangat baik. Musyawarah para pemimpin umat yang sangat luar biasa menurut saya. 

Foto diambil dari jawapos.com NATALIA/JPNN
Hasilnya pada saat aksi 212? Alhamdulillah, alhamdulillah, alhamdulillah, meskipun saya tidak ikut langsung, melihat kegiatan aksi 212 saya benar-benar bersyukur kepada Allah. Bagaimana umat muslim benar-benar menerjemahkan konsep rahmatan lil alamin. Habib Rizieq, Aa Gym, Ust Arifin Ilham, Ust Bahtiar Nasir dan bebagai ulama lain sepanggung bersama untuk mendoakan kebaikan bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dan Kapolri kembali membuat keputusan yang tepat dengan ikut berdoa bersama para peserta aksi. Di waktu yang hampir bersamaan, pembantu-pembantu Jokowi menangkap beberapa tokoh nasional yang disinyalir memiliki kepentingan lain jika terlibat dalam aksi super damai 212. Terlepas dari segala kontroversi penangkapan ini, Jokowi seperti sudah mulai nyaman dengan permainan caturnya. Dan diakhir acara keputusan Jokowi untuk bergabung sholat Jum’at bersama dengan para peserta aksi plus menyapa secara langsung peserta aksi, menjadi kado manis bagi perjalanan sejarah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tentu masih banyak yang tidak suka dengan peristiwa ini, tapi saya sangat yakin inilah wajah Indonesia yang sebenarnya. Saat masyarakat Indonesia bersatu, insya Allah Indonesia akan jauh lebih baik. 

Tidak ada yang terjadi secara kebetulan di dunia ini, bahkan daun yang jatuh ke tanah juga atas ijin Allah. Pun demikian dengan takdir Indonesia yang dipimpin oleh Seorang Tukang Mebel. Beberapa orang mungkin berpendapat terpilihnya Jokowi sebagai azhab, tapi bagi saya pribadi Jokowi adalah sosok yang paling tepat memimpin negara ini. Terlepas dari berbagai macam opini yang berkembang di masyarakat, atas ijin Allah, Indonesia saat ini jauh lebih baik dari sebelumnya. Tentu masih banyak hal yang harus kita kritisi. Salah satunya terkait kepimpinan Jokowi dalam persoalan hiburan di televisi. Sudah dua tahun kepemimpinan Jokowi tidak membawa perubahan terkait industri televisi. Tontontan yang tidak mendidik masih sangat banyak. Terakhir, gaya komunikasi Tukang Meubel ini sepertinya 5 atau 10 tahun lagi akan menjadi role model bagi pemimpin-pemimpin di negara lain atau kajian-kajian komunikasi politik di dunia kampus, mungkin saja.


Alhamdulillah, saya bangga menjadi Muslim di Indonesia. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar dari “Ketidakbisingan” Yogyakarta

UN Berbasis Minat dan Bakat, Kenapa Tidak?

Imajinasi Percakapan Ayah dan Anak