Belajar Baik (Mahluk itu Bernama Media Sosial)

Pernahkah kita memposting di media sosial entah facebook, instagram, twitter, path dan mahluk medsos sejenisnya tentang aktivitas ibadah kita? Misalnya beberapa contoh di bawah ini :

Gambar diambil dari halaman
blog http://kata-terbijak.blogspot.co.id
“Alhamdulillah, buka hari ini terasa begitu nikmat.” 
“Saat yang tepat untuk bersujud,” update status pas bangun di tengah malam.
“Bersyukur tahun ini bisa berqurban 1 ekor sapi,” posting status sambil upload photo sapi yang telah dieksekusi oleh jagal. 
“Tempat yang sangat indah, alhamdulillah bisa datang di rumah Allah,” update status sambil upload photo di depan ka’bah saat umroh. 
“Bersyukur bisa menjadi bagian dari pembela alqur’an,” update status sambil wefie bareng teman-teman saat aksi.
“Ikut majelis ilmu dulu biar tambah kece,” posting status sambil upload photo sedang ikut majelis ilmu bareng ustadz terkenal misalnya. 
“Jum’atan dulu biar tambah ganteng,” posting status sambil selfie dengan baju muslim. 
“Di balik setiap ujian pasti ada hikmah yang bisa diambil,” posting status sambil selfie dengan jilbab baru plus lipstik bibir merah merona.
“Semoga sakinah, mawadah, warohmah,” upload status sambil selfie dengan tampilan super cantik saat menghadiri pernikahan saudara. 
“Sungguh beruntung sekali memiliki istri yang cantik dan sholih,” bikin status sambil wefie di dalam mobil.
“Bersyukur bisa berbagi bersama anak-anak yatim piatu saat ulang tahun kali ini,” posting status sambil upload photo bareng anak yatim pas perayaan hari ulang tahun.
“Bersyukur bisa sholat shubuh jamaah di masjid berharap bisa menjadi bagian kebangkitan umat,” upload photo aktivitas setelah sholat berjamaah di masjid.
Dan berbagai macam status media sosial lainnya.  

Adakah yang salah saat kita melakukan hal tersebut? Jawabannya tidak karena memang salah satu tujuan diciptakannya media sosial oleh Kangmas Mark Zuckerberg dan teman-temannya adalah untuk menampilkan eksistensi manusia dalam dunia maya. Lantas kenapa kita mempermasalahkannya? Kalau tidak haram jangan mengada-ngadakan aturan. 

Kallleemmmmm rekkkk/brohhh/sisttt….

Gambar diambil dari :
https://mivecblog.com
Saya menggunakan kata ganti kita ya, bukan kamu, dia atau mereka. Yang berarti saya juga menjadi bagian dalam tulisan ini alias saya juga pelaku,hhe. Ngene rek, pendapat saya, sangat subyektif tapi semoga bisa membuat niat kita semakin lurus dalam menjalankan perintah Allah. Sebagai umat muslim kita wajib hukumnya berhati-hati dalam urusan beginian. Alasannya kenapa? Kita wajib menanyakan pada diri kita sebelum memutuskan untuk mengupload hal-hal yang demikian, untuk dakwah atau untuk pamer? Motif agar dibilang orang alim atau niat pamer kegantengan/kecantikan? Niat sedekah atau agar dibilang orang dermawan? Niat dakwah keharmonisan rumah tangga atau sebenarnya pengen pamer kekayaan? Niat menegakkan sholat berjamaah atau sebenarnya hanya ingin dibilang alim oleh orang lain? Contoh-contoh pertanyaan tersebut menurut saya wajib kita tanyakan pada diri kita sebelum kita memutuskan melakukan sesuatu. Terus apa sangkut-pautnya dengan urusan kita sebagai umat Muslim?

Ngene rek, saya menulis ini dalam rangka belajar dan berikhtiar menjadi orang yang lebih menurut penilaian Allah. Adapun kalau ada perbedaan pendapat karena keterbatasan dan kedangkalan ilmu saya, monggo saya diingatkan sebagai saudara seiman panjenengan. 

Kita pasti sudah tidak asing dengan kitab Riyadhush Shalihin karangn Imam Nawawi. Dalam Mukhtashar Riyadush Shalihin  yang dikarang oleh Syaikh Yusuf An-Nabhani pada bab Iman kepada Allah subbab Ikhlas dan Haramnya Riya’ dijelaskan hadist Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu, dia berkata: “Rosululloh SAW bersabda: ‘Allah berfirman: ‘Golongan manusia yang pertama kali akan diadili kelak pada hari kiamat adalah : pertama, orang yang secara zhahirnya mati syahid. Orang tersebut disidangkan lalu diperlihatkan kepadanya kenikmatan yang bakal diterimanya dan dia pun melihatnya. Akan tetapi, dia lalu ditanya: ‘Apa yang telah engkau perbuat?’ Dia menjawab: ‘Aku telah berperang karena-Mu hingga terbunuh sebagai syahid.’ Allah berfirman: ‘Engkau dusta. Yang benar adalah engkau berperang dengan niat supaya disebut sebagai jagoan  dan engkau pun sudah mendapatkannya.’ Selanjutnya, Allah memerintahkan (kepada malaikat) agar orang tersebut diseret pada mukanya hingga akhirnya dicemplungkan ke dalam neraka. Kedua, orang yang mempelajari ilmu Islam dan mengajarkannya kepada orang lain dan selalu membaca Alqur’an. Orang inipun disidangkan, lalu diperlihatkan kepadanya kenikmatan yang akan diterimanya dan dia pun melihatnya. Akan tetapi, dia lalu ditanya:’Apa yang telah engkau perbuat?’ Dia menjawab: ‘Aku telah mempelajari ilmu Islam dan mengajarkannya kepada orang lainserta selalu membaca Alqur’an karena-Mu.’ Allah berfirman: ‘Engkau dusta. Yang benar adalah engkau mempelajarinya supaya engkau dikatakan sebagai orang ‘alim dan selalu membaca Alqur’an supaya engkau disebut sebagai qari’ (orang yang lihai dalam membaca) dan engkau sudah mendapatkan semua itu. ‘Selanjutnya Allah memerintahkan (kepada malaikat) agar orang tersebut diseret pada mukanya hingga akhirnya dicemplungkan ke dalam neraka. Ketiga, orang yang diberi kekayaan melimpah oleh Allah, yang digunakan untuk banyak bershadaqah. Orang ini pun disidangkan, lalu diperlihatkan kepadanya kenikmatan yang bakl diterimanya dan dia pun melihatnya. Akan tetapi, dia lalu ditanya: ‘Apa yang telah engkau perbuat dengan hartamu?’ Dia menjawab: ‘Tiada satu kesempatan pun yang di dalamnya Engkau suka agar seseorang mengeluarkan shadaqah padanya, melainkan aku bershadaqah di dalamnya karena-Mu. ‘Allah berfirman: ‘Engkau dusta. Yang benar, engkau mengeluarkan shadaqah tersebut agar dengan niat agar engkau dikatakan sebagai dermawan dan engkau sudah julukan itu.’ Selanjutnya, Allah memerintahkan (kepada malaikat) agar orang tersebut diseret pada mukanya hingga akhirnya dicemplungkan ke dalam neraka.’ “ Semoga kita bisa mengambil hikmah dan pelajaran dari hadist ini. 

Kalau menurut saya, ketiga contoh orang yang disebutkan dalam hadist tersebut nyaris tanpa cela apalagi dulu tidak ada era media sosial yang berarti potensi riya’nya lebih kecil dari era media sosial seperti saat ini. Tapi Allah Maha Tahu apa yang tersembunyi di dalam hati setiap hamba-Nya. Seharusnya kita jauh lebih waspada menggunakan media sosial dengan segala potensi riya’nya. Media sosial menyimpan begitu banyak potensi untuk mendakwahkan Islam tapi juga sangat mungkin memunculkan ujian riya’ bagi pelakunya. Lantas bagaimana, gak asyik dong kalau media sosial tidak membuat kita eksis? Saran saya sih kembali meluruskan niat. Jika niatnya lebih dominan untuk menyampaikan kebaikan sebaiknya hindari seminim mungkin potensi untuk riya’ (terutama photo dan caption pendukung yang sangat menonjolkan unsur kita).

Mungkin apa yang disampaikan Ustadz Yusuf Mansur bisa jadi referensi kita ukuran ikhlas memang sangat relatif dan susah dinilai oleh manusianya. Tapi untuk meminimalisirnya beliau memberikan contoh silahkan sedekah Rp 100.000 ditunjukkan kepada umat namun sembunyikan sedekah kita yang bernilai Rp 1.000.000. Contoh ini bisa kita improvisasikan ke dalam aktivitas rutin kita, misal jika kita ingin berdakwah tentang sholat tahajud sebaiknya kita prioritaskan konsistensi kita alias keistiqomahan kita dalam sholat tahajud. Saat kita sudah bisa istiqomah kita bismillah niat menyeru melalui media sosial. Jangan sampai baru menjadi newbie dalam amalan tertentu kita sudah sibuk upload sana-sini. 

Semoga kita senantiasa dalam perlindungan dan petunjuk Allah. Tulisan ini hanya salah satu ikhtiar untuk belajar menjadi manusia yang lebih baik menurut penilaian Allah. Kalau ada kebaikan dalam tulisan ini, semata-mata karena petunjuk dari Allah dan jika sebaliknya itu murni karena kedangkalan ilmu yang saya miliki. 

Indramayu, 20 Desember 2016 
(Nulis sambil diserang spesies nyamuk Indramayu yang terkenal keganasannya)


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar dari “Ketidakbisingan” Yogyakarta

UN Berbasis Minat dan Bakat, Kenapa Tidak?

Imajinasi Percakapan Ayah dan Anak