Belajar Cinta

Taaruf dan Guru “Ngaji”

Cinta, sesuatu hal yang sampai kapanpun akan tetap abstrak untuk diterjemahkan. Seperti yang aku rasakan waktu itu. Bulan April tahun 2013 entah tepatnya tanggal berapa, aku bukan orang yang pintar mengingat tanggal kejadian. Panasnya Kota Kendari saat itu, seperti tak mampu meredam berbagai gejolak yang muncul dalam jiwaku. Nafsukah itu? entahlah aku juga tidak tahu. Yang jelas kala itu, aku merasakan ada keyakinan yang begitu dalam saat melihat aktivitasmu dalam sebuah photo. Photo yang menggambarkan bagaimana kau sangat mencintai profesimu, guru “Ngaji” anak-anak. 

Bagiku guru “Ngaji” adalah profesi yang sangat mulia. Kau tahu kenapa kawan? Karena guru “Ngaji” mayoritas bekerja bukan karena uang. Tapi karena niat tulus ingin membantu anak-anak agar mereka kenal terhadap Sang Pemilik Hidup, Allah SWT.  Sepertinya tak ada lagi pekerjaan yang lebih mulia dari sekedar berharap ridho Allah SWT. Geliat dunia yang semakin mengaburkan nilai tulus sebuah pengadbdian, sepertinya terbantahkan oleh para guru  “Ngaji” di negara ini. Ah, guru “Ngaji” memang tipe ideal untuk dijadikan pasangan hidup. 

Ada begitu banyak alasan untuk membuat manusia jatuh cinta. Karena wajahnya, karena kepintarannya, karena lekuk tubuhnya, karena hartanya, dan berbagai alasan dunia lainnya. Dan aku? Aku memilih jatuh cinta padamu karena aktivitasmu. Tak pernah sekalipun aku sebelumnya bertemu dengannmu, tapi photo kebersamaanmu dengan adik-adik TPA saat itu, membuatku semakin mantap untuk berikhtiar menikahimu.

Kau tentu ingat bagaimana aku mengenalmu, adik kelasku yang juga teman sekampusmu Rosdiana, atas ijin Allah menjadi perantara kita untuk saling mengenal. Aku tak tahu kenapa Rosdiana rela mengenalkan teman baiknya pada lelaki tidak jelas sepertiku, ahh yang jelas aku sangat bersyukur atas kejadian itu.

Kekuatan do'a. Mungkin itu satu-satunya jawaban yang bisa aku mahfumi. Sepertinya, sangat tidak masuk akal jika melihat background kita masing-masing. Kau aktivis dakwah plus aktivis kampus. Sedangkan aku? Ya meski kita sama memiliki kesenangan berorganisasi, tapi aktivitasku saat itu sangat jauh dari urusan dakwah. Bahkan sewaktu di kampus, namaku juga pernah dicoret dari para petinggi aktivis dakwah kampus. Urusan sholat? Waktu itu aku masih jarang jamaah ke masjid, mungkin dari 5 sholat fardhu, aku kadang hanya sekali atau dua kali jamaah di masjid. Kriteria yang sangat jauh dari yang kau harapkan. Di dalam tulisan yang kau sampaikan padaku, kau memiliki kriteria calon suami harus sholat jamaah 5 waktu di masjid. Sungguh jika bukan karena Allah, aku yakin kita sulit menyatu. Tapi aku selalu percaya bahwa Allah punya begitu banyak cara untuk memberikan jawaban atas do'a yang hambaNya panjatkan.

Aku memiliki banyak cerita yang mungkin bagi beberapa orang cenderung kelam. Tapi senakal-nakalnya aku saat itu, setiap selesai sholat, aku selalu berdoa, "ya Rabb karuniakanlah hamba pasangan hidup yang baik untuk dunia dan akhirat hamba, yang bisa diajak berjuang bersama, yang bisa menerima kondisi keluarga hamba dan menjadi Ibu yang sholihah bagi anak-anak hambak kelak." Ya, itu doa yang hampir setiap selesai sholat aku mintakan pada Allah. Do'a yang rada absurd bagi lelaki yang pernah hampir dikeluarkan dari sekolah gegara urusan balap liar. Dan Allah menjawab doaku dengan mempertemukan aku padamu.

Sejujurnya, aku tak yakin kau akan menerimaku saat itu. Berbagai macam kriteria yang kau sampaikan padaku, sepertinya jauh dari yang ada pada diriku. Belum lagi ditambah pekerjaanku yang bagi orang tua manapun pasti berpikir 2 kali untuk melepaskan anaknya. Ya tapi aku tahu, kalau aku tidak memberanikan diri untuk serius denganmu, aku hanya akan jatuh pada kesalahan yang sama untuk kesekian kalinya. Kemungkinan dari setiap usaha adalah sukses dan gagal. Tapi aku yakin, saat aku memberanikan diri mencoba untuk mengusahakan sesuatu, itu nilainya jauh lebih baik dari daripada tidak mencoba alias kalah sebelum bertanding. Emang menikah urusan pertandingan? Ah sudahlah aku susah membahasakannya, yang jelas kata motivator terkenal seperti itu. 

Aku tak tahu apa yang kau pikirkan dan kau rasakan saat aku bilang mau ikhtiar serius menikahimu. Yang jelas, jawabanmu setelah kau meminta waktu untuk beristikhoroh dan mempertimbangkan berbagai hal, membuatku tersenyum lebar. Entah atas dasar apa, alasan yang sampai detik ini kadang aku juga tak tahu, yang jelas saat itu kau memutuskan mau menerima pinanganku. Kau hanya bilang jika memang aku serius, datangilah kedua orang tuaku.

Berbagai pisau analisis aku gunakan saat itu, bukan karena persoalan ini ilmiah atau tidak ilmiah, tapi lebih karena langkah apa yang harus aku lakukan setelah ini. Kau tahu kawan, menikah bukan urusan sederhana. Menikah bukan hanya urusan menyatukan dua insan yang sedang dimabuk cinta, tapi lebih dari itu. Menikah melibatkan berbagai aktor, ya kurang lebih seperti teori translasi jejaring aktor. Aku harus paham betul bagaimana peranku, peran keluargaku, peranmu, juga peran keluargamu. 

Kau tentu masih ingat saat pertama kali kita bertemu, pesawat jurusan Kendari - Surabaya menerbangkanku, lalu naik bus ke Yogyakarta dari Surabaya untuk menemuimu. Sebelum aku memutuskan untuk melakukan itu, aku berpikir berbagai hal. Aku juga berpikir berbagai kemungkinan. Tak mudah bagiku untuk sekedar berangkat dari Kendari menuju Yogyakarta, selain persoalan tiket yang mahal,hhe, juga karena faktor kita benar-benar belum saling mengenal sebelumnya. Tapi aku selalu yakin, jika Allah berkehendak, tak ada satupun yang bisa menghalangi. Termasuk keraguanku saat itu. Ya sedikit agak lebay memang, tapi aku yakin keseriusanku datang saat itu menambah nilai positif bagimu.


Dini hari saat itu, aku tiba di terminal bus Giwangan, Yogyakarta. Setelah perjalanan yang cukup lama dari Surabaya ke Yogyakarta. Maklum karena pada saat itu, tiket terusan Kendari - Yogyakarta terlalu mahal untuk ukuran dompetku, sehingga aku memilih pesawat jurusan Kendari - Surabaya, dan melanjutkan transportasi umum menuju Yogyakarta. Kau datang bersama Bang Rusdi saat itu, Kakak ketigamu. Aku tak ingat betul bagaimana ekspresimu saat itu, kita juga tidak saling bercerita seperti halnya sepasang kekasih yang lama tidak bertemu. Kita hanya sebentar saling sapa, dan kemudian kita melanjutkan perjalanan menuju rumahmu. Aku dibonceng Bang Rusdi dan kau mengendari motor sendiri menuju rumahmu. Aku tahu betul kamu sangat menjaga diri dariku. Bahkan untuk urusan bonceng-membonceng motor kau punya prinsip yang tidak bisa ditawar, kau memilih untuk kita bawa motor masing-masing. Kau tahu apa yang aku rasakan saat itu? Sungguh detail-detail kecil peristiwa itu semakin memantapkan aku bahwa jika Allah berkenan, aku akan serius menikahimu. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar dari “Ketidakbisingan” Yogyakarta

UN Berbasis Minat dan Bakat, Kenapa Tidak?

Imajinasi Percakapan Ayah dan Anak