Dolanan not same with The Game


Bermain dampar, neker (kelereng), layangan, delikan (petak umpet), rumah-rumahan, enthek (gak tau bahasa Indonesianya), maen adah rokok (bekas rokok), dan mainan-mainan tradisional lainnya adalah keseharianku waktu kecil dulu. Tak ada belajar, tak ada les/kursus, hanya maen,maen,dan maen,hhe.Aku bersyukur melewati masa kecil yang alhamdulillah membuatku bahagia dengan permainan-permainan tradisional itu.



Kenyataan bahwa aku sekarang sudah tidak kecil lagi sedikit membuat aku kaget,hhe. Aku sudah remaja, ehhhh nampaknya lebih dari dewasa. Tahapan hidup untuk kesekian kalinya berada di depan untuk diisi dengan berbagai catatan. Sewaktu belum sekolah ingin sekali bisa cepet sekolah, pas udah SD ingin sekali cepet SMP, gak beda jauh pas saat SMP ingin sekali cepet SMA. Pun saat SMA pengen cepet kuliah, dan pas kuliah udah pasti pengen cepet kerja. Ahhh ternyata hidup itu mudah ditebak ya kalau gitu,hhe. Dan kenyataan lagi pas udah kerja ingin apa selanjutnya? Kayaknya semua juga udah pada bisa nebak. Pasti rata-rata ingin segera menyempurnakan hidup dengan mencari pasangan hidup yang terbaik untuk kita.

Just introduce, sebenarnya aku tak sedang ingin menulis keinginan-keinginan setelah kerja. Lebih tepatnya karena untuk tahapan ini masih kabur dan susah untuk ditebak,hhe. Aku ingin menulis kenyataan bahwa zaman sekarang udah beda. Sesekali waktu aku melihat anak-anak kecil bermain tak lagi aku temui apa yang aku mainkan di saat kecil dulu. Bukan bermaksud untuk menjustifikasi bahwa zaman aku kecil dulu lebih baik dengan zaman sekarang tapi ada suatu fakta yang harus diterima bahwa anak-anak sekarang jauh lebih besar ujian dalam perjalanan hidupnya. Tentu karena kemudahan saat sekarang untuk melakukan berbagai hal dan mendapatkan banyak hal.

Benar memang, setiap zaman punya ciri khas masing-masing dan tentu punya kekuatan dan kelemahan masing-masing. Bukan untuk menggurui adek-adek kita, tapi ada saatnya kita memberikan alert kepada adek-adek kita tentang berbagai pilihan permainan yang ada untuk mereka.

Akses informasi yang begitu luar biasa bisa membawa pengaruh sangat positif juga tak jarang bisa berdampak sangat negatif untuk kita dan juga adek-adek kita. Mari kita coba renungi kemungkinan kita waktu dulu untuk mengakses hal-hal negatif dibanding dengan kondis saat ini? Pasti semua dengan mudah akan menjawab “mudahan kondisi saat ini.” Kenyataan ini yang patut menjadi catatan kita. Beberapa hari terakhir ada dilema tersendiri saat aku coba merenungi dua sisi yang bersebelahan dalam diriku. Aku cuman berpikir andaikata hal semacam yang aku alami berada pada dua sisi yang berlawanan dialami oleh adek-adekku pasti ada kekhawatiran yang lebih saat memperhatikan perkembangan mereka.

Aku berbicara dengan kata ganti “kita” yang artinya subyek jamak yaitu aku, kamu, kalian, dan siapapun yang terlibat dengan kita. Mungkin akan sangat normatif jika hanya lewat sebuah tulisan membahas masalah klasik yang memang sudah menjadi ketakukan orang tua kita saat kecil dulu. Akan selalu ada hal positif dan negatif di dunia ini. Tapi membiarkannya sebagai sesuatu hal yang umum tanpa dianggap tabu akan sangat bahaya bagi perkembangan kita sebagai bagian dari perjalanan kehidupan bangsa ini. Kita mungkin sesekali pernah tenggelam dalam sisi hitam. Bersyukur bagi yang bisa bangkit dan kembali menemukan arah untuk melanjutkan perjalanan hidup. Tapi yang perlu kita sadari adalah fakta menunjukkan banyak saudara kita terhenti perjalanan hidupnya pada sisi hitam dalam hidupnya. Merasa nyaman dengan sisi hitam itu dan merasa bahwa sisi hitam itu adalah sebagai identitas mutlak yang ada pada dirinya. Ini kenyataan sosial yang tak bisa dibantahkan. Bahwa kemudahan kita dalam melakukan berbagai hal saat ini membawa semakin banyak pilihan. Positif atau negatif pilihan kita adalah mutlak ditentukan oleh kita. Hanya saja kita sebagai mahluk Allah punya kewajiban untuk saling mengingatkan dalam kebenaran. Semoga Allah berkenan memberikan jalan terbaik untuk kita sampai pada akhirnya kita kelak bisa berkumpul di surga.
Amin.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar dari “Ketidakbisingan” Yogyakarta

UN Berbasis Minat dan Bakat, Kenapa Tidak?

Imajinasi Percakapan Ayah dan Anak