Menjelang 100 hari Meninggalnya Bapak

Seringkali beliau bilang “Le, sebelum kamu bisa bertanggungjawab atas dirimu sendiri jangan pernah memberikan tanggungjawab pada orang lain,” dan pesan terakhir beliau “Le, Jangan sedih jika tidak bisa memberangkatkan haji Bapak atau Ibu, yang terpenting kamu bisa menjadi anak yang soleh. Karena doa anak yang soleh itu sebenarnya yang dibutuhkan oleh Bapak dan Ibu.”

Heemmm sungguh aku merindukan kalimat-kalimat itu.

Miss U Dad…

Sesekali masih sering berharap pas pulang ada disambut oleh Bapak. Dijemput, dikasih wejangan, dimotivasi, ahhh sungguh aku sangat merindukan almarhum Bapak. Kenyataan memang menyadarkan aku bahwa beliau telah tiada. Telah jauh meninggalkan kami yang masih berada di dunia. Tapi rasa kangen, rasa rindu, rasa sayang, rasa hormat, dan rasa kasih itu sampai kapanpun akan terus ada. Dan itu yang membuat aku terkadang merasa bahwa Bapak masih berada di sampingku meski dengan dimensi dunia yang berbeda.

Tentu naif jika aku bilang aku tak merasa kehilangan, mampu tegar, merasa kuat ditinggal Ayahanda. Tapi keadaan yang mengharuskan untuk aku bersikap demikian. Belajar untuk terus kuat, untuk terus tegar, dan belajar sedikit demi sedikit berperan sebagai Bapak. Maut, rizky, dan jodoh mengajarkanku bahwa Allah benar-benar kuasa atas segala sesuatu yang ada di muka bumi ini. Ketiga hal itu juga yang mengajarkanku apa itu ikhlas, apa itu tulus, apa itu tawakal menerima segala ketetapan yang diberikan oleh Sang Penguasa Hidup. Bahwa semua yang terjadi di dunia ini bukanlah suatu kebetulan, bahkan daun jatuh pun atas kuasa Allah. Dan kita sebagai manusia hanya berusaha memerankan skenario yang telah Allah berikan untuk kita.

Setahap ujian setidaknya telah menyadarkan aku kembali bahwa tidak selama manusia bahagia dan juga tidak selamanya manusia bersedih. Episode kehidupan berputar seperti layaknya siklus yang tidak bisa ditahan oleh apapun. Meratapi keadaan hanya akan membuat kita menjadi manusia bodoh yang tak tau terima kasih atas nikmat yang telah Allah berikan. Terus melangkah, meski sesekali berbelok haluan karena kebodohan diri jauh lebih baik daripada berdiam diri dan terus menyalahkan diri.

Terima kasih Bapak, terima kasih telah banyak mengajarkan aku apa itu kehidupan, apa itu pengabdian, apa itu pengorbanan, dan apa itu keikhlasan. Meski aku tak bisa menjadi Bapak, tapi aku janji akan selalu menanamkan semua arti itu dalam perjalanan hidupku dan juga kelak istri dan anakku.

Ya Allah yang Maha Pengampun ampunilah kesalahan-kesalahan ayahanda, terimalah amal ibadah beliau, lapangkanlah jalan beliau, dan pertemukanlah kami kelak di surgamu ya Rabb duhai Tuhan yang Maha Pengasih.

We Love You Dad...

Jum’at, 2 Desember 2011

10:52 Lantai 11 Cbc 26

Komentar

  1. yup,betul banget mas,manusia sekuat apapun pasti akan merasa kehilangan,rindu kalo udh ngerasain keadaan seperti ini.
    ikhlas lah yang mampu bantu kita biar bisa kuat..insyaallah.
    Semangat mas !!

    BalasHapus
  2. ikut berbela sungkawa mas arif.. semoga Tuhan selalu memberi ketabahan untuk mas dan keluarga,serta diberi tempat yang terindah di sisi-Nya bagi ayahanda mas arif

    BalasHapus
  3. turut berduka cita mas.. g kerasa sudah beberapa tahun berlalu y..

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar dari “Ketidakbisingan” Yogyakarta

UN Berbasis Minat dan Bakat, Kenapa Tidak?

Imajinasi Percakapan Ayah dan Anak