Misteri D A K


Sore ini tak seperti biasanya, aroma anyir seperti tak tahu malu masuk begitu saja ke dalam hidungku. Pilihan yang tidak menarik di tengah hawa merinding dan denyut jantung yang nampak seperti berlarian.

Hari itu, aku tahu ada berita tentang meninggalnya anak SD karena tertimpa genting dan kayu saat pembangunan unit kelas baru. Sekolah yang terletak berpuluh-puluh kilometer dari pusat pemerintahan itu, aku pikir akan dimerger dengan sekolah di sekitarnya. Jumlah siswanya tak cukup untuk sekedar membuat klub sepakbola level kampung. Hidup enggan, mati tak mau. Kurang lebih begitu.

Aku heran kenapa justru sekolah ini yang dapat bantuan Dana Alokasi Khusus (DAK) dari pemerintah. Logika yang tidak masuk akal bagi jurnalis lokal macam diriku ini. Celakanya pimred media di mana aku mengais rezeki, menyuruhku menginvestigasi kasus ini.

Sekitar pukul 16.00 aku tiba di lokasi, tali warna kuning bertulis police line mengelilingi sekitaran Tempat Kejadian Perkara (TKP). Darah segar masih terlihat di sekitaran lokasi. Jerit tangis keluarga masih terdengar merdu di telingaku. Sungguh peristiwa naas yang tidak ada satupun orang yang mau.

Sebenarnya aku tahu, atasan di kantorku memintaku meliput kejadian kecelakaan ini. Tapi naluriku berkata lain, aku akan menelusuri penggunaan dana DAK, instingku berkata asal-muasal kecelakaan ini karena ada yang salah dengan penggunaan DAK ini.

"Rokok Pak," aku coba membuka pembicaraan dengan mandor proyek pembangunan ini. "Iya mas, matur nuwun," jawabnya singkat sambil mengambil satu batang rokok. "Kok iso terjadi koyok ngene, piye ceritane Pak?" aku coba mengajukan pertanyaan pancingan ke Bapak tersebut. "Piye yo mas, sakjane aku yo ra tego mas ndelok garapanku koyok ngene," tuturnya sambil mengisap rokok dengan sangat dalam. 

"Ada peluang untuk probing pertanyaan," batinku. Aku langsung coba luncurkan pertanyaan lanjutan, "Lha kok saged, Pak?" aku langsung pasang muka serius dan tatapan penuh rasa ingin tahu. "Iyo mas, iki speke (spesifikasinya) sakjane orang layak dingge bangunan. Ak dipeseni bosku, ono duwek sakmene, kudu dadi bangunan kelas. Aku ra iso nolak mas, gelem ra gelem aku kudu lakokne. Mergone aku lagi butuh duwek dingge tuku susu anakku," jawabnya yang mulai menyadari betapa bersalahnya dia sebagai mandor karena telah membangun kelas ini.

Sambil menghisap rokok lagi dia bilang, "jare bosku, anggaran dingge bangun iki wes akeh sing motong. Lek ra salah nominal bantuane 250 juta, tapi tekan ngisor garek 75 juta sing iso dingge tuku barang. Makane kualitas bangunane koyok ngene. Aku ra ngiro, lek sampek kayu kerangka gentenge selemah iki, sampai akhire ambruk lan ngeneki arek sekolah," sambil berairmata dia coba jelaskan. "Iyo Pak, aku paham," jawabku singkat.

Liputan kecelakaan aku cukupkan, tapi investigasi perihal kasus ini aku terus berusaha ungkap. Memang setelah kejadian itu, sekolah menjadi sepi, beberapa orang sering kesurupan setiap masuk kelas atau bermain di sekitaran sekolah itu. Tapi aku tahu, itu cerita yang dibuat oleh para "setan" dalam wujud nyata, yang berusaha mengaburkan kasus korupsi penggunaan DAK. Sebulan setelah kasus tersebut, aku dapat informasi bahwa seluruh kepala sekolah diminta tutup mulut apapun yang terjadi perihal penggunaan DAK ini. Pada saat briefing pun, semua HP disita petugas. Tujuannya tak lain agar tidak ada barang bukti, dan kepala sekolah diminta menerima sisa anggaran yang telah dipotong dan harus ada bangunan yang jadi, bagaimanapun bentuknya.

Dua bulan setelah peristiwa itu, aku juga dapat informasi, bahwa Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) untuk DAK konstruksi bangunan ini meninggal karena tersedak biji rambutan. Sebelum meninggal, dia tidak bisa bicara, minum, dan makan selama 45 hari.

Kau bisa bayangkan kan boy, bagaimana azab pencuri uang rakyat?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar dari “Ketidakbisingan” Yogyakarta

UN Berbasis Minat dan Bakat, Kenapa Tidak?

Imajinasi Percakapan Ayah dan Anak