"Pemeras" Pejabat di Daerah itu.....?? Oknum Media salah satunya.

"Mas ini ada teman dari media #$&"€¥®™~¿¬@%, silahkan langsung ngobrol dengan Mas Arief," salah satu Pejabat di Dinas Pendidikan mempersilahkan perwakilan dari media yang merupakan marketing dari media tersebut untuk ngobrol dengan saya.

Feeling saya sebenarnya sudah tidak enak, pagi-pagi kenapa ada media datang. Dan benar saja, selembar kertas berisikan liputan kegiatan yang telah diprint dilengkapi dengan nota bertuliskan advetorial dengan angka Rp 300.000,-
"Mas ini dari media kami, untuk liputan kemarin. Ini print liputannya," perwakilan media tersebut mencoba menjelaskan kepada saya tentang maksud dan tujuannya. Entah kenapa saya langsung reaksioner menjelaskan ke orang tersebut "Mbak mohon maaf sebelumnya, kami tidak ada transaksi model seperti ini. Kami mengundang dalam rangka ingin memperkenalkan program, jika acara kemarin menurut jenengan layak diliput, monggo silahkan diliput. Tapi jika tidak layak untuk diliput kami juga tidak apa-apa. Dalam kegiatan kami, ada uang pengganti transport untuk semua peserta yang hadir dan diserahkan secara langsung ke peserta diakhir acara. Dan ini bukan uang untuk liputan, ini murni mekanisme kantor kami bahwa jika ada kegiatan, peserta ada uang pengganti trasport. " Saya mencoba menjelaskan dengan penuh senyum meski sebenarnya denyut jantung saya mulia berdetak lebih kencang dari kondisi emosi yang normal.

Melihat mimik yang bingung dari perwakilan media ini, saya mencoba menambahkan penjelasan. "Mbak, saya pribadi juga pengen menjalin komunikasi dengan teman-teman media dengan saling menghormati. Saya tahu persis bahwa ada kode etik teman-teman jurnalis yang harus dipegang teguh. Oleh karenanya, saya selalu berusaha menjalin komunikasi dengan teman media berdasarkan idealisme, profesionalisme dan tentu kekeluargaan." Nampaknya, dia tambah bingung saya ngoceh panjang lebar. Akhirnya saya kasihkan nomor saya jika ada yang ingin didiskusikan lebih lanjut. Sesaat kemudian dia pamit pulang.

-----------

Selang sekitar 30 menitan, ada telpon masuk ke hp saya. Saya hanya coba tarik nafas dalam-dalam sambil menenangkan hati, karena saya sudah memprediksi tidak akan selesai di sini penolakan yang saya lakukan. Dan benar saja, Pimred Media Online lokal ini menghubungi saya.

"Benar ini dengan Mas Arief?" tanya Sang Pimred.

"Inggih mas, gimana mas? Ada yang bisa saya bantu?" saya coba menjawab seramah mungkin.

"Gini mas, saya tadi mengirim marketing ke Dinas Pendidikan. Karena kemarin saya diminta meliput kegiatan. Saya kirim wartawan saya untuk meliput. Dan biayanya sekian mas."

"Oh gitu mas," saya coba menenangkan diri sambil berusaha mengendalikan diri. Saya coba jelaskan sedetail mungkin tentang aturan main kegiatan di tempat saya, kode etik jurnalis sampai idealisme dunia media. Tentu dengan bahasa yang paling enak dan santai menurut saya.

"Saya ini orang lama dan sudah terbiasa dengan seperti ini. Kamu tahu, saya sudah ada MoU dengan pejabat di situ." Kaget dengan bahasa MoU saya langsung potong penjelasannya, "maaf mas, MoU apa maksudnya?"

Nadanya semakin tinggi. "MoU saya dengan pejabat di situ. MoU itu kan tidak selalu tertulis ada yang lewat telepon juga." Pimred ini berusaha meyakinkan saya tentang definisi dan bentuk MoU, meski sebenarnya saya tersenyum dalam hati.

"Kamu tahu, saya sudah lama kerja sama dengan Dinas Pendidikan. Kamu jangan macam-macam." Nadanya nampak semakin marah. Melihat kondisi seperti ini, saya tetap berusaha tenang. Menjelaskan dengan suara seramah mungkin, meski sebenarnya emosi saya juga sudah mulai terpancing. Sambil beristghfar dalam hati, entah kenapa saya malah semakin getol menjelaskan tentang idealisme, kode etik dan hal-hal prinsipil lainnya. Saya menutup rapat pintu negosiasi. Bukan persoalan uangnya, tapi ini adalah persoalan prinsip.

"Kamu orang mana?" tanya pimred ini. Saya jelaskan bahwa saya sedang kerja sama dengan Kabupaten Sumenep terkait peningkatan mutu pendidikan dan bla bla. Sesaat kemudian, nadanya berangsur menurun. Dan diujung pembicaraan ditutup dengan kalimat "Saya kira kamu staf Disdik. Maaf"

Fenomena seperti ini saya yakin, bukan hanya saya yang mengalaminya. Jika tidak mau dikatakan banyak, saya berani menyimpulkan fenomena seperti ini mudah ditemukan di setiap SKPD-SKPD "seksi" di negara ini. Ancaman verbal maupun nonverbal oleh oknum media lokal itu memang benar-benar ada. Seperti memelihara suatu yang tidak baik, meliput bukan atas dasar idealisme tapi lebih karena kebutuhan perut. Dengan sangat hormat, bagi saya pribadi oknum-oknum seperti ini tak pantas disebut jurnalis.

Entah berapa banyak pejabat di negara ini yang dipaksa mengeluarkan uang sekedar puluhan ribu atau bahkan ratusan ribu untuk sebuah liputan yang sebenarnya sangat jauh dari kaidah peliputan yang benar-benar. Ditambah lagi susunan kalimatnya yang amburadul. Ini fenomena nyata, jika terus seperti ini, media yang seharusnya menjadi pengingat dan pencerah masyarakat melalui informasi dan berita yang mencerdaskan, hanya akan menjadi "borok" bagi perjalanan bangsa ini.

Semoga Pemerintah Daerah dan Aparat Penegak Hukum bisa lebih tegas dengan modus-modus pemerasan yang mengatasnamakan keluhuran profesi jurnalis.

Komentar

  1. Sekarang banyak media online abal2 mas TC. Ya kadang kerjanya malak'in seperti itu. Bahkan jika di suatu institusi ada celah kasus korupsi, biasanya ancaman utk ungkap kasus ke publik jika tak dikasih duit suap.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar dari “Ketidakbisingan” Yogyakarta

UN Berbasis Minat dan Bakat, Kenapa Tidak?

Imajinasi Percakapan Ayah dan Anak