Belajar Mengenal Hidup


20 Januari 2013, 07:48 Wib

Abdi masyarakat, dua kata ini yang dulu ada di gambaran saya tentang siapa itu PNS. Pengabdian biasanya identik dengan ketulusan dan entah terhipnotis oleh apa, saya selalu mengagumi orang-orang yang tulus di dunia ini. Merasa mereka adalah puncak dari capaian kebahagiaan yang oleh karenanya saya merasa perlu untuk mencotoh kehidupannya. Jika boleh sedikit bercerita meskipun keinginan jadi PNS itu tidak begitu mendominasi, tapi saya punya keinginan yang lebih terhadap individu-individu yang berstatus PNS. Karena merasa merekalah yang seharusnya bertanggungjawab pada perjalanan birokrasi di negara ini. Kesempatan itu tiba, saya bisa mengenal secara lebih kehidupan PNS tanpa harus menjadi bagian yang terikat seperti mereka. Tepatnya saat saya ada program pendampingan terkait dengan reformasi pengadaan barang dan jasa di daerah.

Rasa ingin tahu yang agak berlebihan mengantarkan saya pada hal-hal baru yang di luar nalar dan kata hati saya. Tentu tidak semuanya dan saya masih berharap banyak PNS yang benar-benar tulus bekerja melayani masyarakat bukan sekedar mencari uang. Amin.
Dua tempat yang saya ketahui sementara ini memang tidak cukup untuk menyimpulkan PNS di negara ini dan memang saya tidak ada maksud untuk mencari kesimpulan. Saya melakukan atas dasar keingintahuan dan tentu sambil mencari rizky. Pelajaran yang saya dapatkan berdasarkan pengalaman pendampingan dua tempat di ujung utara Pulau Borneo adalah PNS secara klasifikasi terbagi atas dua golongan besar.

Golongan pertama, PNS “bertopeng.” Kayak sinchan ya, bodoh ah,he. Golongan ini adalah mereka yang menghilangkan identitas melekat PNS sebagai abdi negara. Memang dari tipikal mereka ini tidak semuanya berdampak negatif pada perjalanan birokrasi di negara ini, dan malah dalam beberapa hal mereka secara kinerja sangat memuaskan yang pada akhirnya berujung pada pencapaian prestasi. PNS seperti ini adalah yang garis besarnya kerja dengan catatan ada imbalan di luar gaji pokok. Entah dalam bentuk insentif atau tunjangan-tunjangan lain. Turunan dari golongan ini adalah diantaranya, PNS yang produktif asal ada insentif, PNS penjilat yang kerja jika ada yang atasan, PNS proyek yang kerja jika dia terlbat dalam proyek, intinya PNS tipe ini tidak berpikir panjang tentang hakekat dan nilai filosofis dari kata PNS. Mereka tak berpikir panjang tentang makna abdi negara, yang mereka lakukan adalah harus kerja karena sudah dibayar. Meski dalam pemahaman klasifikasi ini, kerja yang dimaksud bisa dalam arti positif tapi juga negatif.
Golongan kedua, PNS sejati :D. Istilahnya agak berlebihan, tapi saya sangat suka dengan kata sejati. Identik dengan orang yang berkarakter. Saya menemukan golongan ini dalam kehidupan per-PNS-an. Sayangnya mereka yang ada dalam bagian ini sangatlah minim dan seringkali tidak memiliki kekuasaan yang cukup untuk mengubah suatu keadaan. Saya mengistilahkan PNS sejati bagi mereka yang benar-benar memahami makna abdi negara. Pengabdi sebagai subyek menurut pemahaman saya adalah dia yang berorientasi pada nilai pengabdian sehingga tidak berpikir panjang tentang hasil yang akan diterima dari apa yang telah di lakukan. Bekerja benar-benar untuk melayani masyarakat meskipun tidak naif bahwa mereka juga uang untuk makan. Tapi disinilah seni dari orang-orang yang termasuk dalam golongan ini. Kemampuan mereka menerima keadaan atau dalam istilah Jawa nrima ing pandum adalah salah kekuatan besar yang mereka miliki. Dari awal masuk mereka sudah paham betul bahwa konsekuensi sebagai abdi negara seperti apa, sehingga tidak berusaha memaksakan hal yang di luar ketentuan meski punya kuasa untuk melakukan. Rizky adalah kebutuhan mereka tapi melayani masyarakat adalah bagian dari kepuasan mereka. Sehingga mereka paham betul tidak akan mengambil rizky yang akan melukai negara atau masyarakat yang mereka cintai.

Kesedihan saya yang teramat dalam bukan karena saya belum punya istri,hhe, ditinggal selama-lamanya orang terkasih, atau dalam hal rizky. Karena saya yakin sepenuhnya meski dalam beberapa hal masih sering mengeluh, bahwa ketiga  hal tersebut sudah ditakdirkan oleh Sang Maha Pencipta. Kesedihan saya yang teramat dalam adalah ketika saya kesulita menemukan orang tulus di negara ini. Tidak terkecuali di dunia birokrasi. Seringkali semua serba matrealistis, semua serba topeng, semua terasa begitu semu. Padahal hidup seperti apa, kita punya peranan dan andil besar untuk memilih. Allah hanya menakdirkan dalam memilih hidup ada dua hal, kebaikan atau keburukan. Tentang pilihan ini Allah mempersilahkan kita memilih yang mana dengan catatan kelak kita harus mempertanggungjawabkan. Semoga kita senantiasa memilih pilihan yang diridhoi dan membuat kita makin dekat dengan Allah. Karena pilihan yang diridhoi Allah, adalah pilihan yang mutlak kebenarannya. Tetap semangat memperbaiki negara ini dengan kemampuan dan jangkauan apapun yang kita miliki. Tak perlu menunggu kaya untuk berbagi, tak perlu menunggu menjadi pejabat untuk bermanfaat, dan tak menjadi perlu menjadi ahli untuk mengabdi.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar dari “Ketidakbisingan” Yogyakarta

UN Berbasis Minat dan Bakat, Kenapa Tidak?

Imajinasi Percakapan Ayah dan Anak